Wali Nanggroe Kenang Beratnya Masa Konflik Hingga Terciptanya Perdamaian

Jokowi batal ke Aceh, Sail Sabang akan dibuka Jusuf Kalla
Jusuf Kalla dan bersama Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haytar saat acara Hari Nusantara 2015 di Lampulo, Banda Aceh. (Kanal Aceh/Aidil Saputra)

(KANALACEH.COM) – Di balik perjuangan panjang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia, Malik Mahmud mengenang betapa beratnya masa-masa konflik dan upaya menciptakan perdamaian.

Sejak masih kecil, ia mendengar cerita-cerita orang tuanya tentang kejayaan Aceh di masa lalu. Aceh, dahulu dikenal sebagai salah satu wilayah terkaya di Asia Tenggara, dengan tanah yang subur dan laut yang kaya.

Namun, hal itu terhenti saat Belanda melakukan invasi ke Aceh. Ketika Indonesia merdeka, masyarakat Aceh berharap banyak, tetapi realitasnya berbeda. Hasil dari ladang gas di Aceh dimanfaatkan oleh pusat tanpa perimbangan yang adil, sehingga meninggalkan kekecewaan mendalam.

Perasaan kecewa ini menjadi salah satu pemicu dan membawa Aceh ke dalam konflik berkepanjangan. Malik Mahmud adalah salah satu dari mereka yang memilih bergabung dengan GAM, organisasi yang lahir dari keinginan untuk memperjuangkan kembali martabat dan kedaulatan Aceh.

Pada awalnya, GAM tidak didorong untuk melakukan perlawanan bersenjata. Namun, respons pemerintah pusat yang keras, dengan penangkapan dan pembunuhan terhadap warga sipil yang dicurigai sebagai simpatisan GAM, membuat konflik tak terhindarkan. Bagi Malik Mahmud dan para pejuang lainnya, situasi ini tidak bisa diterima. Aceh tidak bisa diam saat rakyatnya menderita di bawah kekerasan yang terus berlanjut.

Malik Mahmud menyadari bahwa konflik ini tidak bisa terus berlanjut tanpa akhir yang pasti. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid memulai inisiatif dialog, dukungan komunitas internasional mulai datang.

Upaya pertama menghasilkan Perjanjian Penghentian Permusuhan (CoHA) dan pembentukan Zona Damai. Namun, harapan itu pudar ketika kesepakatan tersebut gagal dan perang kembali berlanjut. Tekanan militer meningkat, ribuan tentara dikerahkan kembali ke Aceh, memicu ketegangan yang lebih besar.

Saat tsunami dahsyat melanda Aceh pada 26 Desember 2004, dunia terguncang melihat kerusakan yang melanda wilayah Aceh. Bencana ini menarik perhatian internasional, dan komunitas dunia mendesak kedua pihak untuk kembali ke meja perundingan.

Tsunami menjadi titik balik, mendorong GAM dan pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan kembali opsi perdamaian demi memfasilitasi bantuan kemanusiaan.

Perundingan damai berlanjut di Helsinki, dengan mediasi Martti Ahtisaari dan Crisis Management Initiative (CMI). Malik Mahmud memimpin delegasi GAM dalam pertemuan tersebut.

Ketidakpercayaan masih membayangi kedua belah pihak di awal perundingan. Di meja perundingan, tuntutan pemerintah Indonesia agar GAM menyerahkan senjata menjadi batu sandungan besar. Namun, di tengah ketegangan, upaya perundingan tetap dijalankan.

Helsinki menjadi arena pertaruhan nasib Aceh. Malik Mahmud tahu bahwa tuntutan kemerdekaan penuh tidak akan mungkin diterima, tetapi ia menyadari pentingnya mencari titik temu. Saat negosiasi nyaris gagal, upaya untuk menemukan kesepakatan mengenai partai politik lokal menjadi kunci. Malik Mahmud, bersama rekan-rekannya, mencari jalan agar suara rakyat Aceh bisa tetap diwakili dalam sistem politik Indonesia.

Setelah proses yang penuh liku, kesepakatan damai akhirnya tercapai pada 15 Agustus 2005. Aceh memperoleh hak otonomi khusus dan hak untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri, serta hak mendirikan partai politik lokal dan pemilihan kepala daerah melalui jalur independen. Kesepakatan ini tidak hanya mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade, tetapi juga membuka babak baru bagi Aceh untuk bangkit dari keterpurukan.

Malik Mahmud melihat perjanjian ini sebagai hasil dari perjuangan panjang dan kesabaran. Perdamaian di Aceh bukanlah akhir dari semua masalah, tetapi ia yakin ini adalah awal yang baru untuk membangun kembali Aceh.

Kesepakatan Helsinki menjadi simbol bagaimana musyawarah dan tekad untuk berdamai dapat mengatasi luka sejarah.

Dengan optimisme, Malik Mahmud berharap perdamaian ini akan menjadi warisan bagi generasi mendatang, memastikan bahwa Aceh tidak lagi harus berjuang dengan senjata, tetapi dengan dialog dan kerja sama.

Related posts