PN Jakarta mediasi gugatan rakyat Aceh terhadap Mendagri

PN Jakarta mediasi gugatan rakyat Aceh terhadap Mendagri
Aksi GeRAM di PN Jakarta Pusat, Kamis (21/1) (Dok. GeRAM)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar mediasi gugatan sejumlah rakyat Aceh terhadap Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh terkait Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh atau RTRWA yang tidak memasukkan nomenklatur kawasan ekosistem Leuser (KEL).

Mediasi berlangsung di Ruang Mediasi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (22/3). Mediasi dipimpin, Djaniko MH Girsang selaku hakim mediator  PN Jakarta Pusat, kuasa hukum Mendagri, Kepala Biro Hukum Setda Aceh Edrian SH yang juga kuasa hukum Gubernur Aceh serta Burhanuddin selaku kuasa hukum Ketua DPR Aceh.

Mediasi turut dihadiri para penggugat dan didamping kuasa hukum mereka, Nurul Ikhsan dan Syahminan Zakaria, Para penggugat yakni Farwiza, Effendi, Dahlan, Abukari, Kamal Faisal, Muhammad Ansari Sidik, Juarsyah, Najaruddin, dan Sarbunis.

Djaniko MH Girsang, hakim mediator PN Jakarta Pusat, mengatakan mediasi ini untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah. Jika para pihak bersepakat, maka gugatan tidak perlu diselesaikan melalui proses persidangan.

“Apalagi sebelum mediasi ini para pihak sudah bertemu. Dalam pertemuan itu, tergugat punya itikad baik. Mereka siap memfasilitasi dan membangun komunikasi politik dengan legislatif,” kata dia.

Oleh karena itu, Djaniko MH Girsang menyarankan para pihak menyelesaikan masalah ini dengan jalan damai. Dan konsep-konsep penyelesaian damai ini harus disampaikan secara tertulis.

Edrian, kuasa hukum Gubernur Aceh yang juga Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh mengatakan pembuatan Qanun RTRW Aceh sudah melalui prosedur, termasuk penjaringan aspirasi rakyat, yang pernah dilakukan pada tahun 2010.

“Jadi, tidak ada yang dilanggar. Artinya, Qanun RTRW Aceh sudah memiliki dasar hukum yang kuat. Apalagi qanun ini pernah diuji materi ke Mahkamah Agung oleh Walhi Aceh. Dan uji materinya ditolak Mahkamah Agung,” kata Edrian.

Menurut Edrian, putusan hasil uji materi atau judicial review inilah yang dipegang Pemerintah Aceh. Hasil JR inilah yang dipegang. Dan putusan MA ini merupakan buktikan bahwa Qanun RTRW Aceh sudah benar dan tidak ada yang dilanggar.

Pernyataan ini dibantah oleh penggugat, yang berargumen bahwa substansi material yang pernah dikonsultasikan ke publik sangat berbeda dengan qanun yang akhirnya disahkan.

“Kalau memang ada perubahan, perubahan Qanun RTRWA tidak bisa sesegara mungkin. Kalau segera, maka perlu lobi-lobi politik dengan legislatif dengan mekanisme kumulatif terbuka,” kata dia.

Sementara itu, Burhanuddin, kuasa hukum Ketua DPR Aceh mengatakan gugatan masyarakat Aceh ini terjadi karena miskomunikasi saja. Dan DPR Aceh menghargai gugatan ini karena diatur undang-undang.

“Saya mengapresiasi para penggugat. Gugatan ini juga bukan untuk kepentingan penggugat, tetapi kepentingan seluruh rakyat Aceh. Karena itu, kami mengajak semua pihak membangun komunikasi yang baik, kami juga memahami pentingnya aspirasi publik ini dan akan berusaha mengomunikasikan dan menjembatani hasil pertemuan ini terhadap para anggota dewan” kata Burhanuddin.

Nurul Ikhsan, kuasa hukum para penggugat, mengatakan rakyat Aceh yang menggugat Mendagri, Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh dengan tujuan yang jelas dan spesifik, menyempurnakan Qanun RTRW Aceh dengan memasukkan semua hasil evaluasi yang sudah ditetapkan oleh Kemendagri, terutama nomenklatur KEL dalam Tata Ruang Aceh.

“Kami sangat menghargai niat baik tergugat untuk menyelesaikan polemik ini, namun kami berharap para tergugat memberi jaminan agar qanun ini direvisi dengan mengakomodir gugatan para tergugat,” kata Nurul Ikhsan.

Senada diungkapkan Effendi dan Juarsyah, dua penggugat Qanun RTRW Aceh. Mereka meminta jaminan jika gugatan tersebut diselesaikan melalui jalan mediasi.

“Jika gugatan ini selesaikan lewat mediasi, maka harus ada jaminan kepada kami apa yang kami gugat ini diakomodir. Kami tidak ingin gugatan kami sia-sia,” kata Effendi.

Lain halnya dengan Abu Kari. Penggugat asal Kabupaten Gayo Lues ini menegaskan apa yang diperjuangkannya ini merupakan warisan orang tuanya untuk menjaga kawasan ekosistem Leuser.

“Saya sudah menjaga kawasan Leuser sejak tahun 1968. Jika kawasan ini tidak ditata dan diatur dalam RTRW, maka jangan kawasan ini lestari. Siap-siap saja generasi Aceh mendatang menerima akibatnya,” kata Abu Kari.

“KEL sudah ada sebelum Indonesia merdeka, hutan-hutan Leuser melindungi penghidupan masyarakat di Aceh selama puluhan generasi, sangat disayangkan kalau justru di generasi sekarang hutan Leuser rusak dan generasi mendatang yang menanggung akibatnya” tambah Farwiza, penggugat lainnya.

Sebelumnya, sejumlah warga Aceh yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) menggugat Mendagri, Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Adapun para penggugat yakni Effendi warga Aceh Besar, Juarsyah warga Bener Meriah, Abu Kari warga Gayo Lues, Dahlan warga Kota Lhokseumawe, Kamal Faisal warga Aceh Tamiang. Serta Muhammad Ansari Sidik warga Aceh Tenggara, Sarbunis warga Aceh Selatan, Najaruddin warga Nagan Raya, dan Farwiza warga Kota Banda Aceh.

Mendagri, Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh digugat karena mengesahkan Qanun Aceh Nomor 19 tentang RTRW Aceh tidak memasukan beberapa substansi penting yang diamanahkan dalam RTRW Nasional.

Seperti Kawasan Ekosistem Leuser, tidak dimasukkan dalam RTRW Aceh. Padahal, Kawasan Ekosistem Leuser diatur dalam RTRW Nasional dan juga dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. [Saky/rel]

Related posts