Membangun peradaban Aceh dengan syariat Islam

Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Misri A. Muchsin. (Ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Penerapan syariat Islam di Aceh selama ini sebagai aturan hukum dinilai merupakan bangunan dari sendi-sendi peradaban Islam. Artinya, ketika Aceh menerapkan syariat Islam, itu bermakna Aceh sedang membangun peradaban.

Hal tersebut disampaikan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Misri A. Muchsin saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) dengan tema Peradaban Islam dan Eksistensinya dalam Pembangunan Aceh di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (20/4) malam.

“Syariat Islam sesungguhnya bukan hanya persoalan hukum, tapi juga berbagai aspek kehidupan. Ibadah, muamalah, munakahat (pernikahan), politik, muamalah, pergaulan dan sebagainya. Semua itu telah tercover dalam syariah,” ujar Prof Misri.

Ia menyebutkan, ada seorang pemikir yang merekam sejarah Aceh dalam bukunya. Dulu, kata Misri, di samping adanya implementasi hukum jinayah, pelaksanaan syariat Islam juga dibuktikan dengan bukti fisik. Meuligoe Raja itu ada sambungan langsung dengan masjid, dan punya jalan khusus agar memudahkan pemimpin ke masjid.

Begitu juga, pembangunan masjid juga harus dekat dengan pasar agar penghuni pasar bisa segera ke masjid saat azan dikumandangkan. Karena dipahami, shalat berjamaah adalah amalan harian yang terus dilakukan Rasulullah Saw sepanjang hidupnya. Maka masjid harus dekat dengan pasar.

Begitu juga, seni-seni di Aceh memiliki nilai filosofis yang hulunya adalah Islam. Rumoh Aceh biasanya dibangun dengan menghadap kiblat. Rumah yang ada arah kiblat biasanya sangat adem.

Terkait dengan dinamika politik Aceh, Misri berharap agar memperhatikan rambu-rambu ajaran Islam sehingga tetap berada dalam garis peradaban Islam.

“Kalau kita melihat siyasah atau politik, bagaimana kelangsungan politik di Aceh, idealnya politik harus bersendikan pada nilai-nilai peradaban. Jangan mencapai kekuasaan lewat kekerasan, tapi berbuat dengan akal sehat, “ kata Misri.

Ia menegaskan, kalau kekerasan yang ditempuh dalam politik, hal itu bermakna belum adanya peradaban. Sebab, orang beradab itu suka damai, cinta ilmu, cinta keindahan. Maka kepemimpinan itu mampu mengundang cinta dari rakyat.

Misri menyebutkan, pembangunan itu sebenarnya terbagi dua, yaitu pembangunan fisik dan nonfisik. Nonfisik, kata Misri, pembangunan sumber daya insani (SDI). Dan SDI ini menjadi hal yang penting yang harus dibangun secara terprogram dan sadar.

“Tanpa kesadaran untuk membangunnya, saya khawatir Aceh akan ompong. Maksudnya, Aceh punya nama besar, tapi isinya tidak bagus. Maka pembangunan insan ini seharusnya mendapatkan tempat yang baik dalam masyarakat dan pemerintahan kita,” jelas Misri.

Di antara sejumlah agenda pembangunan dalam membangun peradaban, menurut Misri, pembangunan pendidikan hal yang mesti diperkuat dan dipoles lagi. Buktinya, banyak rancangan pendidikan, kurikulum dan lembaga pendidikan yang mengabaikan pertimbangan dan capaian bagaimana agar nilai-nilai insaniah dari alumnusnya bisa terbangun.

“Dalam penyusunan kuriukulum atau silabus misalnya, bagaimana capaian alumnus kita bisa tercover dari kedua arah. Bagaimana agar pembentukan karakter bisa tercipta,” sebutnya.

Terhadap tuntutan ini, Misri mengatakan, ia telah melakukan ujicoba di Fakultas Adab dan Humaniora sejak empat tahun terakhir. dengan bahasa yang simple, ia mengatakan, boleh saja ia mengajari mata kuliah filsafat, tapi ia juga mewajibkan mahasiswa yang diasuhnya untuk dekat dengan Alquran.

Di akhir pengajian, Misri mengatakan, pemimpin Aceh yang baik harus menjalankan nilai-nilai Islam supaya sesuai dengan agenda penerapan syariat Islam. ”Kalau seorang pemimpin tidak pernah ke masjid raya, itu patut dicurigai kemana Aceh hendak mereka bawa,” ujarnya. [Sammy/rel]

Related posts