Pemerintah Pusat diminta tuntaskan masalah kebebasan beragama di Aceh Singkil

Satuan polisi pamong praja Aceh Singkil menertiban salah satu gereja di Kecamatan Suro, Aceh Singkil, Aceh. (Kompas)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singkil, Boas Tumangger, meminta Pemerintah Pusat turun tangan dalam menyelesaikan persoalan kebebasan beragama dan beribadah di Aceh Singkil.

Menurutnya, pemerintah kabupaten tidak bisa mengakomodasi hak-hak yang seharusnya diterima oleh kelompok umat beragama tertentu, khususnya umat Nasrani, terkait pemberian izin pembangunan rumah ibadah, yang berpotensi menimbulkan konflik.

Boas menuturkan, sebelum maupun sesudah terjadinya peristiwa pembakaran gereja HKI pada 13 Oktober 2015, izin pembangunan gereja dipersulit.

Padahal, seluruh persyaratan yang tercantum dalam Peraturan Gubernur tahun 2007 tentang izin pendirian rumah ibadah telah dipenuhi.

Berdasarkan data yang dia miliki, tercatat ada satu gereja yang sudah mengajukan izin pembangunan gereja sejak 28 Juni 1994. Namun, sampai saat ini izin tersebut tidak pernah keluar.

“Gereja di Aceh Singkil sudah berdiri sejak tahun 1932. Dari 24 gereja yang ada di seluruh Kabupaten Aceh Singkil, hanya 1 gereja yang memiliki izin. Kami sudah mencoba mengajukan izin, tapi dipersulit oleh birokrasi,” ujar Boas saat bertemu dengan Kompas.com di kawasan Palmerah Selatan, Jakarta Barat, Kamis (21/4).

Boas menceritakan, pascaperistiwa pembakaran gereja pada 13 Oktober 2015, Pemerintah Daerah sudah menginstruksikan kepada seluruh rumah ibadah yang belum memiliki izin agar mengurusnya dengan segera.

Dari 24 gereja yang ada, Pemerintah Daerah merekomendasikan pemberian izin kepada 13 gereja yang telah lolos verifikasi persyaratan.

Sebagai salah satu anggota pengurus gereja GKPPPD Sanggaberu yang juga belum memiliki izin, Boas segera mengajukan permohonan izin pembangunan.

Namun, hingga kini, belum ada kejelasan kapan pemerintah daerah akan menerbitkan surat izin pembangunan tersebut.

“Saya sudah 11 kali bolak-balik mengurus izin. Prosesnya masih berhenti di Departemen Agama dan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama),” kata Boas.

Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa sebelum terjadinya peristiwa pembakaran gereja, tidak pernah terjadi konflik antara umat Islam dengan Kristen di Aceh Singkil.

Ia menampik kabar adanya konflik berkepanjangan antara umat beragama yang berujung pada pembongkaran dan pembakaran rumah ibadah.

Menurut Boas, peristiwa pembakaran murni diakibatkan karena pemerintah daerah tidak cepat tanggap dalam mendirikan izin pembangunan gereja.

“Kalau saja izin itu diberikan, pembakaran tidak akan terjadi. Karena yang dituntut oleh kelompok masyarakat kan menertibkan rumah ibadah yang tak berizin, bukan mengusir umat agama lain. Jika izin diberikan, selesai perkara,” ujarnya.

Rencananya, pada Jumat (22/4) pukul 14.00 WIB, Forcidas, tokok masyarakat Islam Aceh Singkil dan perwakilan PGI akan mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melaporkan situasi dan kondisi yang sebenarnya di Aceh Singkil. [Kompas]

Related posts