Pendirian pabrik Semen Indonesia Aceh dinilai langgar UUPA

Ilustrasi. (Ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Rencana pendirian pabrik dan ekploitasi bahan baku semen oleh PT Semen Indonesia Aceh yang merupakan perusahaan patungan (joint venture company) antara PT Semen Indonesia dengan PT Samana Citra Agung dengan nilai investasi mencapai Rp5 triliun di atas lahan 1.500 hektare di Kecamatan Muara Tiga dan Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie saat ini yang belakangan mendapat penolakan dari masyarakat akibat belum diselesaikannya hak-hak atas tanah warga.

Ketua Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR) Pidie, Diky Zulkarnain mengatakan pendirian pabrik semen dengan rencana produksi yang diperkirakan mencapai 3 juta ton per tahun dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Ia mengatakan, UUD 1945 pasal 33 telah mengatur bahwa bumi dan air serta isi yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan sepenuh dipergunakan untuk kesejahteraan raktyat.

“Dan rencana pendirian dan pengerukan sumber daya alam (SDA) di Kabupaten Pidie sampai dengan akan dilakukan peletakan batu pertama pendirian pabrik semen tersebut juga belum menampakkan tanda-tanda kesejahteraan yang akan dirasakan oleh masyarakat,” kata Diky dalam siaran pers yang diterima Kanalaceh.com, Jumat (22/4).

Malah, kata Diky, sebelum pendirian pabrik dan produksi semen dilakukan, masyarakat setempat telah dirugikan oleh joint partner PT Semen Indonesia yang dianggap telah merampas tanah rakyat tanpa melakukan ganti rugi kepada masyarakat maupun pemerintah daerah.

Pembangunan pabrik Semen Indonesia Aceh, lanjutnya, telah dimulai tahun ini dan ditargetkan akan mulai beroperasi tahun 2020. Komposisi saham dalam perusahaan tersebut, PT Samana Citra Agung akan memiliki 12,5 persen saham, sisanya dimiliki oleh perusahaan raksasa BUMN PT Semen Indonesia yang 48,9 persen sahamnya telah dilepaskan kepada publik.

“Sementara pemerintah Aceh maupun Pidie tidak memiliki saham satu persen pun. Oleh Sebab itulah pendirian pabrik Semen Indonesia Aceh jelas-jelas telah mengangkangi UUPA Nomor 11 tahun 2006,” cetusnya.

Diky mengatakan, sebagaimana termaktub dalam Bab XXII Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) bagian ketiga tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dijelaskan dari pasal 156 sampai pasal 159.

“Dalam pasal-pasal itu dengan tegas disebutkan bahwa, Pemerintah Aceh dan atau pemerintah kabupaten/kota berhak untuk mendapatkan penyertaan modal baik dalam membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam setiap investasi SDA,” ujarnya.

Terkait kondisi tersebut, kata Diky, SMUR Pidie menilai proyek pembangunan PT Semen Indonesia Aceh terkesan dipaksakan dan tergesa-gesa, walaupun dikabarkan rencana pembangunan pabrik semen di Pidie telah dipersiapkan sejak tahun 1993.

“Pemerintah Aceh dan Pemkab Pidie hanya dijadikan sebagai pihak yang mengeluarkan dan merekomendasikan izin investasi semata.”

Karena itu, Diky mengatakan SMUR Pidie menyatakan enam sikapnya, yaitu mendukung sepenuhnya investasi yang  saling menguntungkan di Aceh.

“Kedua, mendesak Pemerintah Aceh ataupun Pemkab Pidie untuk melakukan negosiasi dengan PT SI agar daerah juga berhak mendapat modal dalam investasi tersebut untuk menyejahterakan masyarakatnya,” sebutnya.

Ketiga, mendesak  PT SI agar membuka ruang negosiasi agar Kabupaten Pidie sebagai daerah yang dikeruk hasil alamnya juga memeroleh saham dalam investasi ekploitasi semen. Kemudian, ia meminta kepada PT SI, Pemerintah Aceh dan Pemkab Pidie untuk berpedoman pada UUPA dalam pengelolaan SDM.

“Kelima, masyarakat Pidie sebagai objek yang akan menerima dampak dari ekploitasi bahan baku semen oleh PT SI harus berada pada posisi yang diuntungkan dan juga diprioritaskan penampungan tenaga kerja. Dan terakhir, meminta Pemerintah Aceh untuk menghentikan proyek tersebut apabila tidak sesuai dengan UUD 1945 dan UUPA,” kata Diky. [Sammy/rel]

Related posts