Legalitas mantan napi di Pilkada Aceh 2017

20150818Aryos-Nivada
Pengamat politik Jaringan Survey Inisiatif (JSI), Aryos Nivada (antaranews.com)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Jaringan survei inisiatif (JSI), telah melakukan telaah aspek hukum atas keikutsertaan mantan narapidana atau napi pada Pilkada Aceh 2017. telaah yang dilaksanakan melalui riset deks studi tersebut, dilakukan guna menerangkan kepada publik mengenai aspek legalitas keikutsertaan mantan napi pada Pilkada Aceh tahun depan.

Direktur JSI, Aryos Nivada, kepada Kanal Aceh menerangkan, dasar penting dari riset ini, sehubungan dengan putusan Mahkamah konstitusi (MK), yang telah merevisi pasal 27 huruf g UU nomor 8 tahun 2015.

Menurut Aryos, tujuan riset yang dilakukan pihaknya, dimaksudkan untuk mengetahui batasan politik mantan napi yang akan berpartisipasi pada Pilkada 2017, dan juga untuk menjelaskan aspek legalitas hak politik untuk bisa dipilih di Pilkada Aceh, dengan cara membandingkan aturan yang berlaku secara nasional dan UU Pemerintahan Aceh itu sendiri.

Dari telaah yang diperoleh pihaknya, didasarkan ada tinjauan penelitian kepustakaan, secara jelas disebutkan dalam UU Nomor 10 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada pasal 67  ayat 2 huruf g, disebutkan bahwa, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:… (g) tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi.

Ketentuan yang sama juga diatur dalam Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012 pada pasal 22 huruf g dan Rancangan Qanun Pilkada Aceh Tahun 2017 pada Pasal 24 huruf I. Artinya peraturan yang mengatur keikutsertaan mantan narapidana dalam Pilkada menemukan keserasian antara UUPA dan Qanun Aceh.  Satu satunya peluang bagi narapidana untuk ikut serta dalam Pilkada yang diberikan UUPA dan Qanun Pilkada adalah bagi pelaku tindak pidana makar politik yang itupun sudah mendapatkan amnesti/rehabiltasi. Ketentuan ini termasuk dalam kekhususan Aceh (lex specialist).

Selanjutnya, sebut Aryos, ketentuan dalam pasal 67 ayat (2) huruf g UUPA yang membatasi hak mantan narapidana dengan vonis hukuman diatas lima tahun hingga tulisan ini dibuat, belum ada putusan MK yang mencabut pasal tersebut.  Sehingga selama pasal tersebut belum dicabut oleh putusan MK yang memilki kekuatan hukum final dan mengikat, maka selama itu pula pasal ini tetap dianggap konstitusional

Karenanya, tegas Aryos, pembolehan mantan narapidana selain tindak pidana makar politik untuk turut berpartisipasi sebagai kandidat kepala daerah, sama dengan mengizinkan rakyat Aceh untuk memilih pemimpin dengan kualifikasi rendah dan tidak sesuai dengan kearifan lokal Aceh. Tidak tertutup kemungkinan, kedepan calon mantan narapidana koruptor, pemerkosa dan pembunuh akan  menjadi kandidat kepala daerah.

Ditinjau secara norma hukum, lanjut Aryos, maka pengaturan dalam UUPA pada pasal 67  ayat 2 huruf g adalah termasuk dalam ketentuan yang bersifat khusus (lex speialist).  Sebagai daerah yang memiliki kekhususan, regulasi mengatur secara khusus terkait bagi calon pemimpin kepala daerah di Aceh.

“Ada semacam kualifikasi khusus yang berbeda dari daerah lain, seperti kemampuan menjalankan Syariat Islam,” sebutnya.

Dari landasan hukum tersebut, secara lugas menjelaskan bahwa hukum dan moral, kandidat adalah seorang yang bersih dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

“Hak publik adalah mendapatkan calon terbaik dan bebas dari perbuatan tercela,” terangnya.

Karena itu, Keikutsertaan narapidana dalam Pilkada Aceh tahun 2017, selain bertentangan dengan pasal 67 ayat (2) huruf g, juga bertentangan dengan pasal 67 ayat (2) huruf i. Dimana persyaratannya tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

“Mantan narapidana adalah pelaku kejahatan yang pastinya berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dirinya tidak hanya bersalah, namun juga telah melakukan perbuatan tercela,” paparnya.

Dari aspek politik, tukas Aryos, secara moral,  politik tujuan utamanya adalah untuk melindungi masyarakat dari munculnya pemimpin yang berlatar belakang buruk secara personal. Sehingga, pungkas Aryos, jika seorang pejabat publik yang buruk secara integritas dan cenderung mencari keuntungan pribadi, tentunya sangat berpotensi membawa banyak kerugian bagi masyarakat yang nanti akan Ia pimpin. [Saky]

Related posts