Melirik kandidat perempuan dalam Pilkada Aceh

Polisi minta satgas paslon jangan di TPS
Ilustrasi pilkada. (Merdeka)

Oleh Samsul Bahri*

Menjelang pemilihan kepala daerah Provinsi Aceh pada tahun 2017, mulai berhembus hiruk pikuk dengan berbagai persiapan untuk menuju tampuk kekuasaan. Para penguasa partai baik lokal maupun nasional terlihat dengan berbagai langkah dan upaya menyusun strategi untuk memenangkan jagoanya dalam ajang pesta demokrasi di Aceh.

Munculnya calon-calon kepala daerah yang diusung oleh masing-masing partai mulai tampak di media cetak dan elektroknik. Secara tidak langsung kemunculan calon yang diusung partai peserta pemilu 2017 adalah orang-orang yang dianggap mampu membawa perubahan untuk kemajuan Aceh pada masa mendatang.

Terlepas siapakan dia, dari manakah dia, mungkin rakyat Aceh saat sudah cukup paham dengan para kandidat calon pimpinan yang dijagokan oleh partai pengusungnya. Pertanyaanya adakan keterwakilan perempuan dalam ajang pesta demokrasi untuk menjadi orang nomor 1 di Aceh?

Bukankah Aceh salah satu daerah yang dikenal dengan srikandi-srikandi terhebat dalam sejarah peradaban manusia? Bukankan aceh daerah satu-satunya yang pernah mengukir sejarah laksamana pertama di dunia?

Sejarah membuktikan kehebatan perempuan aceh bukan hanya dalam mengurus suaminya, kehebatan perempuan Aceh sebanding dengan keperkasaan seorang panglima perang. Fungsi perempuan tidak sebatas seorang istri dan ibu bagi anak mereka yang hanya mengurus urusan rumah tangga, perempuan mempunyai hak untuk berkiprah di sektor publik,

Terkadang kita sering melupakan identitas seorang ibu yang telah berjasa dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, semangat dan dorongan perempuan dalam memperjuangkan keluarga, masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan sosial.

Kelembutan dan kasih sayang seorang perempuan terkikis oleh para penggila kekuasaan. Sungguh sangat disayangkan hak perempuan Aceh terkadang sengaja dilupakan dalam pilkada. Menjelang Pilkada 2017, keterlibatan perempuan dalam ajang pesta demokrasi bisa dikatakan tidak memiliki peran apapun.

Seharusnya para pemimpin partai memberikan peluang kepada kaum perempuan untuk membangun pembelajaran dalam dinamika politik, krisis kepemimpinan bukan hanya disebabkan oleh faktor keterbatasan potensi sumberdaya. Krisis kepemimpinan sangat berkolerasi dengan terbukanya peluang-peluang kepada jiwa-jiwa yang memiliki karismatik kepemimpinan.

Dilihat dari sisi kepribadian seorang perempuan adalah agen perubahan (agent of change) untuk mencapai tatanan kehidupan yang lebih baik. Perempuan memiliki sifat sebagai pribadi yang lebih teliti ketimbang laki-laki, perempuan memiliki respons yang lebih cepat terhadap permasalahan, konsistensi dalam mengembakan tugas dan tanggung. Keterlibatan perempuan dalam parlemen Aceh belum mampu mewakili dari keseluruhan perempuan Aceh yang tersebar di berbagai pelosok.

Peran perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama dan telah diamanatkan oleh konstitusi kita Undang-undang Dasar Tahun 1945, pada Pasal 28D ayat 1 berbunyi “setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Hal ini menjelakan baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya memiliki hak di hadapan hukum, berperan dalam politik, berperan dalam dunia pendidikan, berperan dalam dunia kesehatan, dan berperan dalam bentuk apapun demi kemajuan Aceh di masa mendatang.

Lebih lanjut dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 amandemen kedua mengamanatkan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Kita pasti mengenal Cut Nyak Dien, yang kehebatanya tidak pernah dilupakan oleh penjajah, kita pasti mengenal Cut Mutia, yang tidak pernah mundur selangkah pun di medan pertempuran, kita juga tidak pernah luput dengan Laksamana Malahayati penentang badai, mejelajah samudera untuk mengusir penjajahan portugis, dan masih banyak srikandi-srikandi Aceh yang tak terkalah kehebatanya.

Mengenai persamaan yang diamanatkan UUD 1945 ada juga di Pasal 28H ayat (2) yakni berbunyi “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Ketelibatan perempuan dalam demokrasi sudah sepatutnya diberikan  peluang yang lebih adil, perempuan juga bisa berperan dalam berbagai bidang yang biasanya dilakukan para lelaki, karena itu semua sudah dijamin oleh konstitusi  negara Republik Indonesia.

Sampai kapan mereka harus diam. Detik-dektik pemilihan tinggal menghitung jari, hak-hak seorang perempuan tidak pernah ada dalam kepedulian yang serius dalam pilkada. Ulurkan tangan, raih jemari, kasih ibu sepanjang masa. []

*Penulis adalah anggota Ikamapa dan Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Perikanan Laut

IPB 2016

Related posts