Fatwa MUI adalah perekat toleransi

Ilustrasi pelarangan atribut natal.

Jakarta (KANALACEH.COM) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor 56 tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan non-Muslim khusus bagi umat Islam.

Fatwa tersebut murni sebagai fatwa keagamaan untuk melindungi akidah umat Islam.

“Fatwa MUI itu justru harus dilihat sebagai alat perekat toleransi, agar tak ada pimpinan perusahaan yang semena-mena memaksa karyawannya yang Muslim memakai atribut natal,” kata Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah, Pedri Kasman, Kamis (22/12).

Ia menerangkan, bagi umat Islam mengenakan atribut agama lain bertentangan dengan keyakinannya.

Polri harus mencegah tindakan intoleransi tersebut. Dia mengatakan, tindakan Polri justru diperlukan untuk menjaga persatuan bangsa.

Dia menjelaskan, keluarnya fatwa MUI justru membuat Polri menjadi punya pegangan untuk mengontrol pimpinan perusahaan yang berbuat intoleransi.

Tapi, menurut Pedri, pernyataan kapolri bahwa fatwa MUI bukanlah hukum positif telah memancing keresahan baru di masyarakat.

“Sikap Kapolri ini makin memancing amarah umat Islam yang sedang berjuang menuntut keadilan dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, kasus penistaan agama sudah menyulut keresahan dengan eskalasi massa yang sangat tinggi.

Bahkan aksi 212 bisa disebut sebagai aksi massa terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Hal ini juga banyak dipicu oleh sikap dan pernyataan-pernyataan Kapolri yang dalam pandangan umat Islam terkesan membela Ahok.

Pedri menyontohkan sikap Polri yang tidak mau menahan Ahok setelah ditetapkan sebagai tersangka. Padahal selama ini semua tersangka penistaan agama langsung ditahan.

Kemudian, ada pernyataan Kapolri alasan Ahok tidak ditahan karena ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) di kalangan penyidik.

“Padahal dissenting opinion itu hanya ada di pengadilan. Di tingkat penyelidikan dan penyidikan tak ada, begitu ditetapkan tersangka selesai,” tegasnya. [Republika]

Related posts