Sekolah bantuan Indonesia diharapkan jadi titian perdamaian di Myanmar

Gedung sekolah yang dibangun PKPU untuk anak-anak Rohingya. Dua unit gedung SD diharapkan dapat menampung 300 siswa. (PKPU/BBC)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Sekolah permanen pertama bantuan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), sebuah LSM dari Indonesia, di wilayah konflik Negara Bagian Rakhine, Myanmar, direncanakan akan dibuka dan diresmikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sebelum akhir Januari ini.

Dua unit gedung untuk pendidikan setingkat sekolah dasar sudah rampung dibangun di Sittwe, Rakhine, dengan kapasitas masing-masing sekitar 300 siswa.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Program PKPU Tomi Hendrajati dalam wawancara dengan BBC Indonesia pada Rabu (11/1).

“Kami sekarang sedang mencoba memproses bagaimana agar sekolah ini enjadi salah satu cikal bakal peace building (titian perdamaian) bagi anak-anak usia sekolah,” jelas Tomi Hendrajati.

Oleh karena itu, fasilitas pendidikan itu tidak hanya ditujukan bagi anak-anak kelompok Rohingya, yang mayoritas Muslim dan tidak diakui sebagai warga negara oleh Myanmar, tetapi juga bagi anak-anak etnik Rakhine, yang mayoritas beragama Buddha.

Bagaimanapun, sebagaimana dituturkan oleh Tomi Hendrajati, komunitas Rohingya pada umumnya memang memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

“Orang-orang Rohingya ini tidak menguasai bahasa Myanmar atau bahasa Rakhine dan mereka hanya menggunakan bahasa ibu mereka. Begitu pula sebaliknya, orang Rakhine tidak mengetahui bahasa orang Rohingya.

“Sehingga ini perlu ketika pendidikan ini digulirkan agar bahasa nasional Myanmar bisa dipakai menjadi salah satu sarana untuk membangun sebuah perdamaian,” tuturnya.

Pemahaman

Melalui pendidikan pula, generasi muda diajak untuk saling memahami perbedaan budaya, berbagai situasi kelompok masing-masing sehingga akan timbul pengertian di antara kelompok-kelompok yang bertikai.

PKPU telah beroperasi di Rakhine sejak konflik pada 2012 yang membuat ribuan orang Rohingya kehilangan tempat tinggal, sebagian melarikan diri ke negara-negara tetangga.

Pada tahap awal bentuk bantuannya berpusat pada kebutuhan pokok seperti makanan, perumahan atau fasilitas sanitasi di kamp pengungsi.

LSM lain dari Indonesia yang juga membantu etnik Rohingya adalah Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Dengan dana hasil sumbangan masyarakat di Indonesia, ACT telah menyalurkan bantuan pokok, seperti beras dan minyak goreng, sejak 2013, kurang dari satu tahun sejak konflik besar 2012.

“Bahkan Desember kemarin, kami masih memberikan bantuan kepada etnik Rohingya di Rakhine. Bantuan juga diberikan kepada mereka yang mengungsi ke wilayah Bangladesh pasca peristiwa 9 Oktober lalu yaitu penyerangan pos perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh,” kata Bambang Triyono, manajer komunikasi yang ikut dalam tim ACT ke Rakhine.

Negara Bagian Rakhine dinyatakan sebagai wilayah tertutup sejak militer Myanmar melancarkan operasi pemulihan keamanan menyusul penyerangan pos-pos perbatasan yang menewaskan sembilan polisi pada Oktober lalu. Otoritas Myanmar meyakini kelompok militan Rohingya melakukan serangan itu.

Dengan kondisi tersebut, menurut Bambang Triyono, penyaluran bantuan dapat terlaksana antara lain berkat kerja sama dengan mitra setempat.

“Karena kami punya beberapa sahabat di sana dan mitra lokal, akhirnya kami bisa masuk. Di Bangladesh pun tidak kalah menariknya karena meskipun bukan di wilayah Myanmar, pemerintah Bangladesh ternyata menerapkan ketentuan bahwa tidak bisa sembarang lembaga kemanusiaan internasional memberikan bantuan langsung kepada etnik Rohinya,” ungkapnya.

Operasi beberapa LSM dari Indonesia di Rakhine berlangsung jauh sebelum Myanmar menyatakan siap mengizinkan bantuan kemanusiaan negara-negara tetangga untuk membantu penduduk Rakhine pada 19 Desember lalu setelah digelar pertemuan menteri luar negeri ASEAN. [BBC]

Related posts