Sertifikasi usaha Pariwisata Indonesia belum maksimal

Pariwisata Sumbang Devisa Rp144 Triliun
Objek Pariwisata Kepulauan Wayag di Raja Ampat, Papua (Kompas)

Jakarta (KANALACEH.COM)  – Sertifikasi pelaku usaha pariwisata di Indonesia belum maksimal. Hal itu diakui oleh pelaku industri dan lembaga sertifikasi usaha di Indonesia.

Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Didien Junaedi mengatakan pelaku industri pariwisata tak menganggap penting adanya sertifikasi usaha pariwisata.

Menurutnya, hal itu tercermin dari sedikitnya pelaku pariwisata yang memiliki Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP).

“Betul (industri anggap enteng TDUP). Karena pelaku industri itu tidak baca undang-undang. Padahal itu wajib. Belum dilaksanakan sanksinya,” kata Didien saat ditemui di sela-sela acara Rapat Koordinasi Sertifikasi Usaha Pariwisata di Kementerian Pariwisata, Jakarta, Kamis (16/3).

Didien menilai sertifikasi usaha pariwisata belum maksimal lantaran kurangnya sosialisasi. Ia juga mengatakan kurangnya kesadaran pengusaha pariwisata untuk melakukan sertifikasi.

“Padahal keuntungannya ada kepercayaan dari pelanggan. Sudah jelas eksistensi usahanya. Kepastian hukum sudah ada. Kerugiannya, ya kalau sudah betul-betul di-blow up, katakanlah tidak disarankan mendapat layanan dari pengusaha yang belum tersertifikasi,” jelas Didien.

Menurutnya, TDUP adalah syarat industri pariwisata di Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi. Namun, pada kenyataan sekarang, Didien menyebutkan belum ada satu persen industri pariwisata yang memiliki TDUP.

“Industrinya itu begitu banyak. Travel, hotel. Macetnya (TDUP) itu saya kira belum ngerti. Daerah juga tidak serius (melakukan sosialisasi TDUP),” tambahnya.

Direktur Lembaga Sertifikasi Usahat Pariwisata Tirta Nirwana Indonesia, Firmansyah Rahim menyatakan serupa dengan Didien. Ia memberikan contoh kasus di industri spa.

“TDUP itu (industri spa) tak ada yang punya. Itu kan syarat dasar untuk sertifikasi. Saya kan di industri spa. Saya keliling tak ada yang mau diperiksa dan disertifikasi,” kata Firmansya pada kesempatan yang sama.

Ia mengatakan terkadang masih menemukan industri spa yang ingin disertifikasi. Namun, kendala yang ditemui adalah TDUP.

“Untuk wilayah Jakarta itu yang punya TDUP itu spa cuma 17. Padahal yang di Jakarta ada 500-1.000 tempat spa mungkin,” tambah Firmansyah.

Baik Firmansyah maupun Didien menegaskan perlunya penegakan hukum bagi industri pariwisata yang tak melakukan sertifikasi usaha.

“Karena ini adalah penerapan dari undang-undang, harus ada political will dari pemerintah. Kalau tidak dilaksanakan, ada sanksi. Masalahnya sekarang belum ada sanksi keselarasan, kesepahaman antara pusat dan daerah,” kata Didien.

TDUP adalah izin yang wajib dimiliki oleh berbagai jenis usaha yang berkaitan dengan sektor pariwisata, seperti usaha Jasa Perjalanan Wisata, Penyediaan Akomodasi, Jasa makanan dan minuman, Jasa Pramuwisata, Penyelenggaraan Pertemuan, dan beberapa usaha lainnya.

Dokumen ini merupakan bukti resmi bahwa suatu usaha sudah terdaftar dalam Daftar Usaha Pariwisata dan dapat menyelenggarakan usaha pariwisata.

Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata Kementerian Pariwisata, Dadang Rizki Ratman mengatakan salah satu hambatan untuk melakukan sertifikasi usaha pariwisata adalah kurangnya Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) di daerah.

Menurutnya, LSU saat ini masih didominasi di Pulau Jawa lantaran kesiapan sumber daya manusia untuk melakukan audit.

“Kita sedang dorong calon LSU membuka cabang. Salah satu bisa buka cabang di beberapa lokasi. Terutama daerah yang sudah berkembang. Idealnya setiap ibu kota provinsi itu ada,” ujar Dadang.

Ia mengatakan Kementerian Pariwisata menargetkan 80 persen industri pariwisata Indonesia sudah tersertifikasi setiap tahunnya. Kementerian Pariwisata, lanjut Dadang, tengah menyiapkan 2.500 auditor untuk menyertifikasi usaha pariwisata dan sosialisasi ke daerah.

“Tahun ini kami penuh dengan bimbingan teknis (bimtek). Ini pun rakor untuk triwulan, sekarang Kementerian Pariwisata lebih proaktif untuk memantau, mengevaluasi peningkatan daya saing melalui sertifikasi. Bimteknya itu tiap bulan ada ke setiap provinsi,” tambah Dadang. [Kompas]

Related posts