Eksekusi cambuk tertutup timbulkan masalah bagi Pemerintah Aceh

Eksekusi cambuk tertutup timbulkan masalah bagi Pemerintah Aceh
Algojo mencambuk seorang terpidana pelanggar syariat Islam di Meunasah Rukoh, Banda Aceh, Senin (27/2). (Kanal Aceh/Randi)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Wacana pemerintah Aceh untuk melakukan modifikasi terhadap eksekusi hukuman cambuk secara tertutup tidak memberikan jaminan bahwa para investor asing akan beramai-ramai datang ke Aceh.

Hal ini dikarenakan subtansi kritik yang disampaikan oleh beberapa pihak terkait hukuman cambuk di Aceh bukanlah pada tatacara ataupun prosedur eksekusi hukuman cambuk, melainkan hukum cambuk itu sendiri.

Dalam beberapa kritik yang disampaikan oleh NGO HAM seperti Human Rights Watch (HRW), International Amnesty (IA) dan ICJR, bahwa pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi saat hukuman cambuk dijadikan sebagai satu-satunya hukuman bagi pelaku pelanggar syari’at di Aceh dimana dalam perspektif HAM, hukuman cambuk tidak sesuai dengan nilai-nilai universal HAM.

Pemerhati isu Hukum dan HAM, Syafrizal mengatakan HRW dengan keras juga menyampaikan kritik terhadap vonis hukuman cambuk bagi pasangan gay di Banda Aceh.

“HRW dengan tegas meminta Presiden Joko Widodo untuk melakukan intervensi dan mencabut Qanun Jinayat yang dianggap diskriminatif dan melanggar hak-hak dasar manusia,” ujar Syafrijal dalam siaran persnya kepada Kanalaceh.com.

“Sehingga wacana eksekusi cambuk secara tertutup tidak menyelesaikan permasalahan utama dan juga tidak akan mengurangi perspektif negative terhadap pelaksanaan syariat islam di Aceh,” tambahnya.

Lebih lanjut katanya, pelaksanaan eksekusi cambuk secara tertutup dapat menimbulkan masalah baru bagi Pemerintah Aceh nantinya, yaitu lahirnya ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap pelaksaan hukuman cambuk di Aceh karena tidak adanya transparansi yang memungkinkan timbulnya potensi ‘permainan’ antara aparat penegak hukum dan terpidana.

“Public distrust nantinya tidak hanya timbul dilingkaran para pihak yang mendukung hukuman cambuk melainkan juga dikalangan para Aktifis HAM dan NGO HAM,” ujarnya.

Bagi pendukung hukuman cambuk, Pemerintah Aceh dibawah Gubernur Irwandi Yusuf dapat dinilai tidak pro dalam penegakan syari’at islam, pun bagi penentang hukuman cambuk, eksekusi secara tertutup akan membuat citra Pemerintah Aceh semakin buruk karena dapat dianggap mendukung pelanggaran terhadap nilai dan prinsip HAM secara terselubung.

“Kesan negatif yang timbul dalam pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh seharusnya dijawab dengan lugas dan tegas oleh Pemerintah Aceh melalui dialog secara berkelanjutan dengan pihak Asing baik dari aspek legalitas, budaya (nilai-nilai lokal),” imbuhnya.

“Kepercayaan mayoritas masyarakat Aceh guna menyelaraskan posisi dan pandangan terkait hukuman cambuk di Aceh bukan malah menciptakan polemik baru melalui wacana melokalisir pelaksanaan hukuman cambuk karena hal tersebut sebuah solusi,” kata Syafrijal.

Terkait anggapan bahwa pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh membuat para investor asing enggan masuk ke Aceh mesti diteliti secara mendalam, apakah benar isu syari’at dan HAM menjadi faktor penghambat utama investasi di Aceh?

“Ada baiknya pemerintah pusat bersama pemerintah Aceh memperhatikan beberapa hal yang lebih relevan diluar isu syari’at dan HAM guna menggenjot jumlah investasi di Aceh,” harap Pemuda alumni salah satu universitas Australia tersebut.

Diantara percepatan yang memberikan kemudahan proses permohonan dan izin investasi, penyediaan infrastruktur penunjang misalnya enrgi/listrik yang masih menjadi masalah utama sebagaimana yang disampaikan dalam hasil riset Growth Diagnostic oleh Bank Indonesia (BI) pada tahun 2015 bahwa salah satu faktor penghambat investasi di Aceh adalah persoalan energi/listirk.

Kemudian katanya hal klasik yaitu iklim investasi yang baik termasuk kemanan dimana investor harusnya bebas dari pungutan-pungutan gelap dari pihak-pihak tertentu. [Aidil/rel]

Related posts