Mengukur kekuatan TNI dalam perang nuklir Korut

Mengukur kekuatan TNI dalam perang nuklir Korut
TNI menggelar alutsista baik darat, laut maupun udara pada peringatan HUT ke-72, di Dermaga Kiat Indah, Cilegon, Banten, Kamis (5/10). (Sindonews)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Krisis Semenanjung Korea yang kian memanas memaksa Indonesia siap dengan risiko perang nuklir. Ironisnya, hingga saat ini sistem pertahanan, atau alat utama sistem persenjataan/Alutsita yang dimiliki Tentara Nasional Indonesia dinilai belum maksimal.

Hal itu pun diakui oleh Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan, Universitas Pertahanan, Laksamana Muda TNI, Amarulla Octavian pada awak media, saat ditemui di Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Selasa (19/12).

Terkait hal itu, Ammarulla pun berharap, anggaran untuk sistem pertahanan TNI dapat ditingkatkan. Sebab, dalam rancangan anggaran sampai dengan 2024 belum memperhitungkan skenario perang nuklir.

“Makanya, jika sekarang ini dianggap penting, ya tambahkan anggaran sedikit untuk TNI, khususnya untuk pertahanan anti nuklir. Itu kan bisa diambil 1,5 persen dari 20 persen dana pendidikan, atau bisa juga dari dana e -KTP mungkin,” katanya sambil tersenyum.

“Intinya, bagaimana negara menyelamatkan uang dan kemudian untuk mengalakosikan ke pertahanan itu penting. Karena jika tidak, apa yang kita bangun sia-sia, jika ditembak nuklir. Seberapa pun mahalnya, harus kita miliki,” timpalnya lagi.

Lebih lanjut, Amarulla mengatakan, hal itu perlu menjadi perhatian serius, mengingat Korea Utara disebut-sebut telah memiliki senjata nuklir yang secara penghitungan hanya membutuhkan waktu 16 menit jika meleset ke Indonesia.

“Tidak mungkin ada suatu konflik atau perang di suatu wilayah tidak berdampak pada Indonesia, apalagi seperti Korut menggunakan senjata nuklir, pasti akan berdampak pada kita. Contoh, jika sekarang diarahkan ke Jepang, tapi bisa juga ke arah selatan. Nah, kalau terjadi mis perhitungan dan sebagainya, ada kemungkinan senjata itu jatuh ke Indonesia,” ujarnya.

Ia mengatakan, secara perbandingan senjata konvensional Korut masih di bawah Indonesia. “Tetapi, begitu Korut ngeluarin nuklir, ya kita yang bahaya. Jumlah prajurit dia lebih banyak, tetapi kualitas pasukan kita dinilai banyak pihak lebih baik. Contohnya, kita 16 tahun juara nembak, sedangkan tentara Korut belum pernah,” kata Amarulla.

Tetapi, lanjut Amarulla, jika ada risiko seperti itu TNI harus mempunyai konsep untuk mengajak masyarakat berlindung menghadapi bencana nuklir. Salah satunya seperti menyiapkan banker.

“Kita cuma punya waktu berlindung 16 menit, itu dari kalkulasi kita (TNI). Dan, apakah arahnya (rudal) ke Amerika, atau ke mana kita enggak tahu. Kecepatan rudal itu hampir di atas dua kali kecepatan suara. Ya, untuk masyarakat sembunyi, kalau TNI menghadang dengan pesawat,” katanya.

“Jadi, tekhnisnya begini, pesawat-pesawat kita meluncur, kemudian menembakan rudal ke sasaran rudal musuh. Jika meleset, ya sudah pesawatnya. Intinya, TNI siap berkorban jiwa raga demi NKRI,” timpalnya lagi.

Saat ini ,Kementerian Luar Negeri telah menunjukkan bahwa eskalasi Pemerintah Indonesia semakin tinggi dan ini sudah yang terakhir dengan adanya pernyataan mengutuk. Namun, Indonesia masih terus berusaha untuk mengedepankan dialog.

“Jadi, dalam hubungan internasional bahasa itu ada konsekuensinya terhadap militer. TNI harus siap. Posisi kita ingin menjaga hubungan baik dengan Korut, namun juga menjaga perdamaian dunia. Kalau ada masalah atau perang, dampaknya kan ada pada kita. Kita berharap, meredakan tensi dengan diplomasi pertahanan.”

Amarulla menambahkan, dengan pendekatan secara diplomasi dirinya berharap Korut bisa terbuka dan mengizinkan TNI untuk masuk guna mengkroscek langsung kondisi di sana.

“Ini untuk menjawab keraguan kita semua apakah Korut punya nuklir? Apakah kalau punya nuklir mau ngancam kita semua atau tidak? Atau cuma ditujukan untuk Amerika Serikat. Nah, pertanyaan-pertanyaan ini harus kita jawab untuk memberi kejelasan pada masyarakat Indonesia,” tuturnya.

“Kita berharap Korut mau berdialog lagi. Sekarang ini ka,n satu forum kerja sama antarmereka itu berhenti sejak 2009. Ini penting, karena dalam hubungan internasional putusnya komunikasi itu berbahaya. Di sini pentingnya agar Korut mau duduk bersama berdialog lagi,” timpal Amarulla. [Viva.co.id]

Related posts