GeRAK nilai 108 perusahaan tambang di Aceh tinggalkan dosa

Eksploitasi tambang di Aceh Selatan diduga ada pihak yang bermain
Ilustrasi. (batakgaul.com)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Dari total 138 perusahaan yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Aceh sejak 2014, hanya beberapa perusahaan yang dinilai memberikan dampak baik dan memberikan kontribusi untuk Aceh.

Semenjak dikeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) moratorium pertambangan oleh Pemerintah Aceh pada 2014, sebanyak 108 IUP perusahaan tambang itu telah berakhir dan tidak aktif lagi. Sementara 30 IUP lainnya masih berlaku hingga saat ini.

Namun, 108 perusahaan yang telah berakhir masa IUP itu masih meninggalkan beberapa masalah di Aceh, dan belum diselesaikan hingga hari ini kepada Pemerintah Aceh. Tetapi disisi lain pemerintah juga belum mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pencabutan kolektif terhadap IUP perusahaan yang sudah tidak aktif tersebut.

Baca: GeRAK Aceh: Ingub moratorium pertambangan perlu direview

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai Pemerintah Aceh perlu secepatnya mengeluarkan SK pencabutan secara kolektif 108 IUP bermasalah dan sudah tidak berlaku lagi itu.

Kepala Divisi Advokasi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan, Pemerintah Aceh penting mengeluarkan SK pencabutan IUP yang sudah tidak aktif tersebut secara kolektif, hal ini penting dilakukan supaya mendapatkan kepastian hukum terhadap pengelolaan pertambangan di Aceh.

Baca: GeRAK minta DPRA bentuk Pansus tangani pertambangan

“Supaya ada kepastian hukum, maka Gubernur Aceh harus segera menerbitkan SK pencabutan kolektif tersebut,” kata Hayatuddin Tanjung saat melakukan diskusi terkait pencabutan IUP yang juga dihadiri oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Ombudsman Aceh, akademisi serta tim RPJM Gubernur Aceh seperti Falevi Kirani, Wahdi Azmi dan Bakti Siahaan, di Bin Hamid Coffe Banda Aceh, Senin 28 Mei 2018.

Kata Hayatuddin, 108 perusahaan itu juga banyak meninggalkan masalah di Aceh saat masih memegang IUP tersebut. Dan hingga kini  belum menyelesaikan kewajiban yang seharusnya mereka penuhi ketika masih beroperasi dulu.

“108 perusahaan yang sudah tidak aktif lagi itu masih meninggalkan dosa (masalah) di Aceh, maka dari itu Pemerintah Aceh perlu segera menyelesaikannya,” tuturnya.

Hayatuddin menyebutkan, masalah yang ditinggalkan perusahaan tersebut salah satunya tercatat masih menunggaknya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 41 miliar kepada Pemerintah Aceh. Data tersebut merupakan akumulasi dari jumlah total tunggakan yang dihitung langsung oleh Dinas ESDM Aceh pertanggal 1 september 2016.

Fakta dan kondisi seperti ini, lanjutnya, Pemerintah Aceh dirugikan oleh perusahaan yang menunggak PNBP. Selain itu juga masih meninggalkan masalah seperti tidak melakukan kewajibannya untuk menutup lobang bekas galian tambang (reklamasi) serta persoalan pasca tambang lainnya.

“Untuk itu, pemerintah harus segara meminta perusahaan membayarkan tunggakan PNPB dan menyelesaikan semua kewajibannya,” cetusnya.

Tak hanya persoalan itu saja, Hayatuddin juga mendesak Gubernur Aceh harus untuk melanjutkan Ingub moratorium pertambangan yang akan berakhir pada 27 Juni 2018. Kelanjutan Ingub ini dipandang perlu karena mengingat masih banyaknya masalah yang belum dibenahi pada sektor tata kelelo tambang di Aceh.

“Masih banyak masalah yang belum berhasil di benah, jadi untuk melakukan pembenahan maka moratorium pertambangan harus dilanjutkan,” pinta Hayatuddin.

Sementara itu, dalam diskusi bersama GeRAk Aceh, Kepala Dinas ESDM Aceh, Mahdinur juga mengatakan bahwa 108 perusahaan tambang di Aceh yang sudah habis masa IUP nya masih banyak meningkatkan dosa di Aceh. Karena itu dirinya berjanji akan segera mengajukan draf SK pencabutan IUP secara kolektif tersebut kepada Gubernur Aceh, sehingga bisa mendorong tata kelola pertambangan yang baik di Aceh.

“Kita komit segera mengeluarkan, akan langsung membuat draf SK nya. SK pencabutan IUP ini kita selesaikan, kita tuntaskan,” tutur Mahdinur dalam diskusi itu.

Selain itu, Mahdinur menuturkan terkait tunggakan PNPB perusahaan kepada pemerintah, nantinya mereka akan meminta kepada panitia piutang negara untuk menagihnya, dengan memberikan seluruh data yang ada, apakah dengan cara memblokir nomor rekening atau dilakukan proses lainnya.

Sehingga, tambah Mahdinur, jika PNPB sebesar Rp 41 miliar ini terbayarkan, maka bisa memberikan pendapatan sebesar 80 persen untuk daerah yakni Pemerintah Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Karena semua izin yang sudah mati ada yang meninggalkan dosa, utang PNPB itu kita tagih, maka dari itu akan kita keluarkan SK kolektif supaya bisa ditarik,” pungkasnya. [Randi/rel]

Related posts