Hutan dataran rendah di kawasan ekosistem Leuser terancam hilang  

Awasi Kawasan Lauser, Pinta Gubernur Aceh
Vegetasi Kawasan Ekosistem Leuser di daerah Lumut, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Minggu (23/11). Kawasan Ekosistem Leuser yang terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dengan luas 2,6 juta hektare memiliki keanekaragaman hayati serta rumah bagi 105 spesies mamalia, 382 spesies burung serta 95 spesies reptil dan amfibi. (ANTARA FOTO/Irwansyah)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menyebutkan bahwa deforestasi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Provinsi Aceh terus-menerus terjadi. Mereka melakukan pemantauan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh dari citra satelit.

Sementara itu, Forum Konservasi Leuser (FKL) berdasarkan pengumpulan data lapangan Januari sampai Juni 2018 menyimpulkan ada peningkatan pada kasus perambahan dan illegal logging di dalam KEL. Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers Yayasan HAkA dan FKL di Banda Aceh 23 Juli 2018.

Konferensi pers yang dipimpin oleh Agung Dwinurcahya, GIS Manager Yayasan HakA, Tezar Pahlevie, Coordinator Monitoring FKL dan Ibnu Hasyim, Database Manager FKL, mereka mempresentasikan data hasil monitoring dari citra satelit meliputi seluruh provinsi Aceh dan ground checking temuan lapangan aktivitas ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser untuk periode Januari sampai Juni 2018.

Agung menyebutkan, bahwa kerusakan hutan di dalam KEL untuk periode Januari sampai Juni 2018 adalah sebesar 3.290 hektar (ha). Angka ini relatif menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yaitu 3.780 ha, dan meningkat sedikit dibandingkan periode Juli  – Desember 2017 dimana deforestasi pada periode itu hanya 3.095 hektar.

Tiga besar kabupaten dengan tingkat kerusakan hutan terbesar adalah Nagan Raya (627 ha), disusul Aceh Timur (559 ha) dan Gayo Lues (507 ha). Sebagian besar deforestasi di Nagan Raya terjadi di dalam Kawasan Gambut Rawa Tripa yang dulu dikenal sebagai Ibukota Orangutan Dunia karena populasi Orangutan Sumatera yang tinggi, kini tutupan hutan di kawasan itu terus menurun akibat maraknya perambahan.

Yayasan HAkA juga memonitor titik api menggunakan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS). Untuk semester pertama tahun 2018, titik api di Aceh terdeteksi sebanyak 688 titik. Satelit VIIRS yang lebih sensitif (resolusi 375m) mendeteksi api berhasil mendeteksi lebih banyak titik api yaitu sejumlah 602 titik sedangkan MODIS (resolusi 1 km) hanya mendeteksi sebanyak 86 titik api.

Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi area yang paling banyak terdeteksi api yaitu sejumlah 440 titik api, sedangkan Hutan Produksi menduduki nomor 2 yaitu sebanyak 100 titik api dan nomor 3 adalah Suaka Margasatwa sebanyak 66 titik api.

Berdasarkan data ground checking oleh 12 tim monitoring lapangan FKL di 13 Kabupaten dalam KEL, terdapat total 1.892  kasus aktivitas pembalakan liar, perambahan liar, dan akses jalan. FKL juga mempaparkan data temuan 24 Tim Patroli Satwa Liar yang aktif berpatroli di 11 kabupaten dalam KEL.

Berdasar hasil temuan tim monitoring FKL, kabupaten Aceh Tamiang dan kabupaten Aceh Selatan tercatat sebagai kabupaten dengan total kasus perambahan dan pembalakan liar terbanyak pada semester pertama tahun 2018 yang berjumlah 319 kasus.

“Jumlah aktivitas pembalakan liar terbanyak terjadi di Kabupaten Aceh Timur yaitu mencapai 619,8 meter kubik. Sedangkan jumlah aktivitas perambahan terluas terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang yaitu 873 ha.  Untuk pembangunan jalan, terdata 105,5 km pembangunan jalan di dalam KEL,” katanya melalui pesan tertulis.

Data-data aktivitas perburuan dan pembangunan jalan juga diulas di konferensi pers tersebut. Pada awal tahun 2018 ini, terdapat 389 kasus perburuan dengan 497 jerat untuk satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau dan gajah yang disita atau dimusnahkan.

Pada periode ini sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Paling sedikit seekor gajah dan seekor harimau mati diburu di Kawasan Ekosistem Leuser. Jumlah sebenarnya bisa jadi lebih banyak dari yang ditemukan.

“Kami harap paparan data Yayasan HAkA dan FKL bisa mendorong Pemerintah provinsi Aceh, Pemerintah kabupaten dan seluruh komponen masyarakat untuk lebih menjaga hutannya terutama KEL karena KEL adalah sumber air bagi rakyat Aceh dan juga berjasa untuk mitigasi bencana. Deforestasi di dalam kawasan hutan Aceh, khususnya KEL, harus terus ditekan demi masa depan generasi masyarakat Aceh dan dunia ke depan ”, tutup Badrul Irfan, Sekretaris Yayasan HAkA. [Randi/rel]

 

Related posts