‘Ketika Bumi Kian Menjerit’

Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, mungkin ungkapan itulah yang dirasakan Bupati Pidie, Roni Ahmad (Abusyik), usai meninjau lokasi percontohan Cetak Sawah Baru Pertanian Organik di Gampong Kambuek Payapi Kunyet, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie.

Siapa pun pasti pernah mendengar bait lagu di atas. Syair lagu yang dipopulerkan oleh Group Band legendaris Indonesia “Koes Ploes” ini sengaja di kutip oleh Abusyik agar menjadi bahan renungan kita semua bahwa tanah warisan nenek moyang yang bernama Indonesia ini memiliki kesuburan dan kekayaan alam yang melimpah.

Dalam lagu tersebut, Bumi Ibu Pertiwi yang membentang dari Sabang hingga Merauke di ibaratkan sebagai Kolam Susu. “Namun kenyataan hari ini bumi merasakan sakit, karena tanah yang dulunya subur kini sudah terkontaminasi dengan racun kimia. Kita telah meracuni tanah secara terus-menerus,” ungkap Abusyik.

“Sebenarnya bumi tidak hanya menjerit, tidak pula sekedar sakit, tetapi sudah dalam kondisi yang sekarat. Tanpa sadar manusia telah menguasai bumi, dan tanpa sadar pula manusia telah merusak keseimbangan alam,” timpal orang nomor satu di Pidie ini.

Sungguh sangat disayangkan betapa banyak diantara kita yang seakan tidak peduli dengan harmonisasi alam semesta. Kita bahkan semakin memperparah penyakit yang sedang dirasakan oleh bumi dengan terus merusak hutan, laut, sungai, danau, tanah, dan udara dengan polusi yang menggila setiap tahunnya.

Dan yang paling parah lagi adalah penebangan pohon secara brutal. Padahal pohon adalah sumber utama penghasil oksigen yang paling berguna bagi kehidupan makhluk hidup.

Tidak bisa disangkal-sangkal, apa yang terjadi kini terkait panas bumi yang membakar kulit, tanah longsor, demikian juga dengan banjir yang kerap menghadang. Tentu ini menjadi pengingat atau pemberi makna terkait nasib bumi. “Bencana alam menjadi penanda bahwa bumi sedang sakit,” beber Abusyik.

Menurut ‘settingan’ awal alam semesta, bumi sebagai tempat tinggal berbagai makhluk hidup beserta segala isinya akan selalu berusaha mencapai keseimbangan. Namun diantara segala jenis makhluk hidup, peradaban manusia kemudian berkembang jauh lebih pesat. Bahkan, sambung Abusyik, kemajuan Iptek dengan produk yang canggih semakin berefek pada kerusakan lingkungan.

Bupati yang gemar bertani ini mentamsilkan bahwa tubuh bumi berada dalam sakit panas dan dingin menggigil yang tentu saja berimbas pada penghuninya. “Karena itu sangat diperlukan interaksi yang baik antara manusia dengan alam,” ujar Abusyik, yang juga mengaku senang karena beberapa tahun terakhir ini kesadaran anak muda Aceh dan aktivis lainnya terhadap lingkungan semakin meningkat.

Iya, perbaikan ekosistem lingkungan memang menjadi fokus Pemerintah Kabupaten Pidie, termasuk menggencarkan penggunaan bahan organik, baik untuk menyuburkan tanaman maupun memberantas hama penyakit. “Kita butuh bumi dan bumi harus dijaga,” ujar sang Bupati.

Abusyik tak memungkiri, penggunaan pupuk kimia justru membuat tanah menjadi asam dan tidak subur lagi. Zat kimia yang terkandung dalam tanah kerap menyebabkan sebagian unsur tanah menjadi tercemar dan berdampak negatif. Akibatnya makanan yang kita makan pun mengandung racun dan tidak layak untuk dikonsumsi.

Bumi Aceh memang butuh peremajaan agar kembali lestari. Agar tongkat kayu yang ditancapkan di batuan pun menjadi tanaman yang subur. Dan kita mesti menjadi pelopor sekaligus konsisten merawat simbiosis mutualisme, sebagai amanah dari Sang Pencipta.

Bumi memang telah banyak bersabar akan nasibnya, karena ulah manusia dan kaum kapitalis dunia. Padahal bumi adalah kawan sekaligus pemberi manfaat yang seharusnya dicintai dan dilindungi sebagaimana kita mencintai diri sendiri. “Bumi butuh obat yang alami, agar ia kembali sehat dan tetap ramah terhadap manusia,” pungkas Abusyik, sambil tertawa. [Ridha]

Related posts