Wacana Pilkada Asimetris Dinilai Bisa Perkuat Sistem Demokrasi Indonesia

Jubir AZAN: kami bukan jual kecap
Fauzan Febriansyah. (ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Usul ide Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian soal penerapan pilkada asimetris mendapat tanggapan dari Kelompok Kajian Politik dan Kebijakan Publik, MFF Syindicate.

Pendiri MFF Syndicate, Fauzan Febriansyah menilai, Pilkada asimetris merupakan sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme Pilkada antar daerah.

Menurutnya, Pilkada asimetris, memakai tolak ukur indeks kedewasaan demokrasi (Index Democratic Maturity). Daerah yang masyarakatnya sudah paham akan demokrasi, kata dia Index Pembangunan Manusia (IPM) baik dan memiliki tingkat kedewasaan politik tinggi yang bisa memilih langsung kepala daerahnya.

Sebaliknya apabila suatu daerah IPM-nya rendah, sosial ekonominya rawan dan kemampuan fiskal rendah sebaiknya dilakukan pilkada tak langsung. Apalagi, kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah hasil pilkada langsung, hampir semuanya perkara berupa suap dan gratifikasi.

“Kasus suap dan gratifikasi ini apabila ditelisik lebih jauh akibat dari mahalnya cost politik pilkada dan pemilu,” kata Fauzan dalam keterangannya, Rabu (24/6).

Fauzan bilang, dari data yang dihimpun MFF Syindicate, sepanjang 2004-2019, KPK telah memproses pidana 114 kepala daerah, yakni 17 gubernur, 74 bupati, dan 23 walikota.

Kebanyakan perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah berupa suap dan gratifikasi. Berdasarkan data di KPK, kata dia ada 81 kasus suap dan gratifikasi selama 2004-2019. Perkara korupsi lain yang juga banyak adalah penyalahgunaan anggaran dan pengadaan barang/ jasa, masing-masing sebanyak 27 dan 13 perkara.

“Saya menilai wacana pilkada asimetris ini harus ditangkap sebagai peluang untuk memperkuat demokrasi dan mengoreksi kekurangan sistem pemilu liberal,” ucapnya.

Apalagi banyak daerah dengan kondisi sosial-ekonomi rawan, fiskal rendah, diikuti index pembangunan manusia yang juga rendah, daerah ini dinilai sangat rawan manipulasi suara pemilih dengan menggunakan politik uang.

Keterpilihan banyak kepala daerah dalam kategori ini (sosial ekonomi rawan) juga berakibat pada hasil demokrasi pilkada langsung. Dimana seorang kepala daerah dipilih bukan karena kualitas. Tapi disebabkan faktor kekerabatan, atau yang lebih parah akibat politik uang.

“85 persen kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terjadi di daerah-daerah sosial-ekonomi rawan. Di daerah dalam kategori seperti ini harus dikaji ulang pemberlakuan sistem pilkada langsung,”

“Komisi 2 DPR RI harus menyambut ide pilkada asimetris ini dan melanjutkan dengan melakukan kajian. Wacana pilkada asimetris ini bukan kemunduran demokrasi. Kemunduran itu kalau kita bersikap statis dan berhenti berfikir di tengah dinamisnya alam demokrasi saat ini,” katanya. [Randi/ril]

Related posts