Kebijakan Pemerintah untuk Menyelamatkan UMKM dalam Pandemi Covid-19

Kebijakan Pemerintah untuk Menyelamatkan UMKM dalam Pandemi Covid-19
Ilustrasi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Foto: Dok. BRI via Kumparan

Saat ini, negara-negara di seluruh dunia tengah menghadapi permasalahan yang sama, yaitu munculnya pandemi Covid-19. Virus ini menyebar melalui droplet (cairan) yang dihasilkan saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau mengembuskan nafas Penyebaran virus yang sangat cepat ini membuat Covid-19 mampu melumpuhkan perekonomian secara global dengan sekejap. Bahkan, negara dengan perekonomian kuat seperti Amerika Serikat dan China saja kewalahan menghadapi wabah virus yang telah ditetapkan oleh WHO sebagai pandemi global ini.

Indonesia sebagai negara dengan kasus terbanyak di ASEAN tentu saja turut merasakan dampak yang signifikan akibat adanya peristiwa ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa ada empat sektor yang paling tergoncang akibat munculnya wabah yang mulai gempar muncul pada bulan Desember 2019 lalu ini. Keempat sektor tersebut antara lain yaitu dari sektor rumah tangga, sektor keuangan, sektor korporasi, dan sektor usaha mikro dan kecil menengah (UMKM). Dari keempat sektor yang telah disebutkan sebelumnya, sektor UMKM dinilai yang paling terdampak.

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, menyebutkan bahwa setidaknya terdapat sebanyak 163.713 UMKM di Indonesia yang terkena dampak COVID-19. Dalam 5 bulan terakhir ini, ada banyak usaha yang merugi bahkan sampai gulung tikar akibat menurunnya aktivitas ekonomi secara drastis. Menurunnya aktivitas ekonomi ini tidak lain dikarenakan kebijakan pembatasan fisik (physical distancing) yang harus diterapkan masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya sebagai langkah pencegahan penularan Covid-19 sebagaimana telah dihimbau oleh pemerintah.

Kebijakan pembatasan fisik membuat masyarakat cenderung mengurangi aktivitas secara outdoor dan meminimalisasi interaksi secara langsung, sehingga masyarakat lebih memilih untuk berada di rumah saja. Hal ini menyebabkan turunnya penjualan yang kemudian akan berakibat turut menurunnya pemasukan yang diterima UMKM. Penurunan pemasukan ini akan berdampak terhadap produktivitas masyarakat. Mau tidak mau, masyarakat akan mengurangi intensitas produksi karena modal yang mereka dapat dan permintaan pasar terhadap barang menurun. Selain itu, aktivitas distribusi barang kepada konsumen pun ikut terhambat karena adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diberlakukan di beberapa daerah di Indonesia pada tahun 2020. Penurunan produktivitas ini jika berlangsung lama akan membuat perekonomian terpuruk.

Pandemi Covid-19 yang masih berlanjut ini dinilai lebih memberi goncangan terhadap sektor UMKM dibanding saat terjadi krisis moneter pada 1997 hingga 1998. Pasalnya, sektor UMKM pada saat itu masih mampu bertahan untuk menghadapi krisis moneter tahun 1998. Berbeda dengan kondisi sekarang, bahkan saat hari raya Idul Fitri dimana biasanya terjadi lonjakan permintaan barang pun sekarang tidak terlalu memiliki dampak yang berarti bahkan cenderung sepi.

Permasalahan ini bertambah parah ketika para pelaku UMKM melakukan pembiayaan modal usaha mereka menggunakan sistem kredit. Bagaimana tidak, pelaku UMKM terdampak Covid-19 sudah mengalami kerugian akibat penurunan pendapatan, namun disisi lain mereka tetap harus membayar pelunasan pokok kredit beserta bunganya kepada kreditor selaku pemberi kredit, baik itu dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), perbankan, maupun perusahaan pembiayaan lainnya.

Jika dipaksakan, maka pemberian kredit ini dapat mematikan UMKM di Indonesia. Selain itu, hal ini juga dapat memperbanyak UMKM yang gulung tikar sehingga harus menutup usahanya. Padahal, sejatinya pemberian kredit ini dimaksudkan agar dapat memfasilitasi para pelaku UMKM untuk mengembangkan usahanya secara masif, meningkatkan dan memperluas akses pembiayaan melalui kredit, serta meningkatkan kapasitas daya saing UMKM.

Selain itu, potensi kegagalan bayar atas kredit atau kredit macet oleh pelaku UMKM kepada kreditur akan meningkat, mengingat kemampuan bayar debitur menjadi menurun akibat kondisi pandemi yang terjadi saat ini.

Jika para debitur ini kemudian dinyatakan atau diklaim gagal bayar atas kredit oleh bank, maka untuk selanjutnya mereka akan sulit untuk mengajukan kredit lagi ke bank maupun lembaga keuangan lainnya. Hal ini disebabkan karena mereka telah dinilai buruk atas status kolektabilitasnya. Jika terjadi hal demikian, maka kesempatan para debitur ini untuk menjalankan kembali usahanya menjadi terbatas.

Dampak buruk lainnya juga turut dirasakan oleh negara. Jika jumlah pelaku UMKM menurun maka penyerapan tenaga kerja pun juga ikut berkurang. Kemudian, hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah pengangguran di masyarakat. Peningkatan jumlah pengangguran ini akan menyebabkan banyak permasalahan bagi negara, seperti berkurangnya pendapatan perkapita negara, meningkatnya biaya sosial (social cost) yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, sampai menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik dalam suatu negara.

Oleh karena itu, untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan atas permasalahan bidang kredit, pemerintah menerapkan relaksasi kredit berupa restrukturisasi kredit. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019. Kebijakan tersebut dilakukan pemerintah dalam rangka merespon kebijakan kredit pada masa pandemi sehingga tidak terlalu memberatkan masyarakat, khususnya para pelaku UMKM.

Berdasarkan konferensi pers virtual yang diadakan di Jakarta tanggal 18 Mei 2020 lalu, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menjelaskan bahwa para peminjam mikro kecil yang meminjam kredit dibawah Rp. 500 juta akan mendapatkan fasilitas subsidi bunga oleh pemerintah selama enam bulan. Subsidi bunga tersebut sebesar 6% selama tiga bulan pertama, kemudian sebesar 3% untuk tiga bulan berikutnya.

Para peminjam tersebut tersebar dalam BPR sebanyak 1,62 juta debitur, dalam perbankan sebanyak 20,02 juta debitur, dan perusahaan pembiayaan sebanyak 6,76 debitur, termasuk para peminjam kredit motor. Skema subsidi bunga kategori mikro kecil tersebut juga berlaku untuk kategori usaha kecil yang melakukan pinjaman pada kredit usaha rakyat (KUR).

Kemudian untuk peminjam kredit golongan usaha kecil menengah yang memiliki pinjaman sebesar Rp. 500 juta hingga Rp. 1 Milyar, akan mendapatkan bantuan dalam hal restrukturisasi kredit yaitu subsidi bunga sebesar  3% untuk tiga bulan pertama dan 2% untuk tiga bulan berikutnya. Bank-bank juga dapat memberikan restructuring dengan penundaan pembayaran pokok pinjaman hingga 6 bulan.

Untuk kategori ultra mikro, dimana pinjaman kredit sebesar Rp. 5-10 juta, akan mendapat subsidi bunga sebesar 6% selama enam bulan. Kategori ultra mikro tersebut terdiri dari 6,08 juta debitur kategori kredit mekar, 1juta debitur kategori ultra mikro (UMI), dan 10,6 juta debitur dalam lingkup pergadaian.

Total keseluruhan dana yang digelontorkan pemerintah sebagai kebijakan relaksasi kredit ini diperkirakan sekitar Rp. 271 Triliun untuk jangka waktu enam bulan. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan perekonomian yang tengah lesu saat pandemi mampu terdorong dan meningkat, terutama untuk para pelaku usaha mikro yang terkena dampak paling besar atas adanya Covid-19.

* penulis: Pijar Indah Puspita Dewi. 
* mahasiswa PKN STAN program studi Kebendaharaan Negara 2018

Related posts