Mudik, Istilah Dari Peradaban Tepi Sungai Jadi Tradisi Tahunan

Pemudik ke Simeulue Mulai Padati Pelabuhan Kuala Bubon. (dok. Dishub Aceh)

(KANALACEH.COM) – Setiap tahun jelang hari raya seperti Idul Fitri, jutaan orang Indonesia berbondong-bondong eksodus dari lokasi mencari nafkah ke tempat mereka berasal, atau yang selama ini dikenal sebagai mudik.

Namun kegiatan yang sudah menjadi tradisi tahunan, kecuali semasa pandemi dua tahun terakhir, itu sejatinya sudah dilakukan jauh sebelum bus, kereta, dan pesawat canggih hilir mudik.

Menurut Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra, mudik sejatinya sudah ada ketika peradaban manusia nusantara masih menempati tepian sungai.

Heddy menyebut, kata “mudik” berasal dari bahasa Melayu yaitu “udik” yang berarti hulu sungai.

Orang Melayu menyebut orang yang biasa tinggal di daerah hulu sungai atau tepi sungai dengan sebutan “orang udik”. Sehingga, “mudik” disebut juga sebagai “kembali ke hulu”.

Meski begitu, Heddy menyebut “meng-udik” atau yang kemudian lebih akrab disebut sebagai “mudik” tidak harus berkaitan dengan bepergian dalam waktu lama.

“Misalnya pagi saya berangkat dari hulu sungai, terus kemudian siangnya sudah sampai di pantai, ketika sore saya mau kembali ke hulu sungai, ya saya bilangnya mau mudik,” kata Heddy seperti dilansir laman CNNIndonesia.com, Jumat (29/4).

Seiring dengan perkembangan zaman, “mudik” kemudian digunakan secara luas oleh orang-orang di luar suku Melayu dan di tempat lainnya.

Mereka menggunakan kata “mudik” untuk merujuk pada kegiatan pulang ke tempat asal alias kampung halaman. Hal ini pun tak bisa dilepaskan dari fenomena merantau, serta urbanisasi.

Perluasan penggunaan itu pula yang membuat “mudik” memiliki perluasan makna bahkan bisa dianggap sebagai kegiatan menjalin kembali silaturahmi dengan sanak saudara di tempat asal.

“Orang yang tinggal di kota [lalu] pulang ke asalnya ya dia bilangnya mudik. Walau dia pulangnya tidak lagi ke hulu sungai, dia tetap bilangnya mudik, karena mudik kembali ke tempat asal,” kata Heddy.

“Mudik yang awalnya berarti kembali ke tempat asal, sekarang juga bermakna kembali ke orang tua, ke sesuatu yang sudah lama ditinggalkan, dari situ muncul silaturahmi,” lanjutnya.

Namun fenomena mudik sejatinya bukan hanya ada di Indonesia.

Di luar negeri, ada fenomena serupa dengan mudik, salah satunya adalah “homecoming” di Amerika Serikat seperti saat Thanksgiving.

Thanksgiving yang sebenarnya merayakan rasa syukur atas pencapaian panen di musim sebelumnya itu juga sekaligus ajang berkumpul anggota keluarga yang telah lama tak bersua.

Perayaan yang biasanya terjadi pada November di Amerika Serikat itu pun dihiasi dengan makan malam dan berbagai hidangan, seperti selayaknya momen Idulfitri di Indonesia.

Heddy menyebut, tradisi serupa pun juga terjadi di di Afrika, Amerika Latin, juga negara-negara Asia Tenggara lainnya.

“Karena intinya orang itu selalu ingin kembali bertemu kembali, atau menengok kembali orang tua,” kata Heddy.

“Ketika anak sudah besar, mereka pergi dari rumah orang tuanya. Itu bisa seperti mereka merantau, pindah negara, nah itu lama berpisah. Biasanya mereka harus mempererat hubungan ini lagi, nah itulah kemudian mereka mudik,” lanjutnya.

Virtual

Situasi pandemi yang memaksa semua orang harus saling berjauhan secara fisik dan melarang bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa protokol membuat mudik semakin memiliki makna yang luas.

Penggunaan teknologi modern untuk menyiasati hambatan berupa pandemi demi tetap bisa mudik itu disebut menjadi langkah alternatif bila perjalanan panjang menuju kampung halaman terasa begitu melelahkan.

“Termasuk keluarga saya sendiri, enggak bisa mudik ya sudah kami buka laptop, zoom saja, nah itu yang terjadi sekarang, lewat laptop, mudiknya virtual,” kata Heddy.

Meski begitu, kegiatan yang kemudian dikenal dalam dua tahun terakhir sebagai “mudik virtual” tersebut dinilai Heddy punya banyak kekurangan. Salah satunya adalah durasi pertemuan yang amat singkat untuk melepas rindu.

“Ketemu langsung kan bisa lama, kalau di Zoom itu hanya satu jam, enggak seru lagi,” kata Heddy. [CNN]

Related posts