Revisi Qanun Jinayat di Aceh, Pelaku Pelecehan Seksual Bakal Dihukum Ganda

Ilustrasi, hukuman cambuk. (Kanal Aceh/Riza Azhari)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – DPR Aceh telah merampungkan pembahasan perubahan terhadap Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Dalam revisi itu, pelaku pelecehan seksual terhadap anak akan mendapat hukuman ganda yakni cambuk dan penjara.

“Alhamdulillah rancangan perubahan Qanun Jinayat sudah kita finalisasi pembahasannya,” kata Ketua Komisi I DPRA Iskandar Usman Al Farlaky dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (2/11).

Pembahasan perubahan rancangan qanun itu dilakukan komisi I DPR Aceh beserta dengan tim tenaga ahli dan juga terlibat Tim Asistensi dari Pemerintah Aceh yakni Biro Hukum dan Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh. Revisi dilakukan hanya untuk pasal berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak, seperti Pasal 33, Pasal 34, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 72.

Baca: Soal Revisi UUPA, Hendra Budian: Kita Butuh Legitimasi Politik Ke Aceh-an

“Revisi Qanun Jinayat ini dilakukan terbatas, hanya untuk memperkuat pasal terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual,” jelas politikus Partai Aceh tersebut.

Iskandar menjelaskan, revisi dilakukan untuk menjawab permasalahan hukuman terhadap pelaku yang selama ini dianggap terlalu ringan bahkan sering diputus bebas. Setelah ada revisi, hukuman terhadap pelaku disebut akan lebih berat.

Baca: DPRA Harap Semua Pihak Seiya Sekata Soal Revisi UUPA

“Semangatnya revisi ini adalah semangat perlindungan anak. Pertama merumuskan hukuman pemberatan bagi pelaku, selama ini hukumannya pilihan antara cambuk, denda dan penjara,” jelasnya.

“Pada revisi ini, pelaku selain akan dicambuk juga akan dipenjara, jadi bukan lagi alternatif tetapi kumulatif. Dan yang Kedua revisi ini juga merumuskan tentang hak pemulihan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual,” lanjutnya.

Menurutnya, dalam pasal sebelumnya, hak pemulihan terhadap anak yang menjadi korban tidak ada. Padahal, pemulihan menjadi sangat urgen dan mendasar agar korban tidak menderita terus menerus baik fisik maupun non fisik.

“Hak atas pemulihan sangat penting, perubahan ini, kita juga menambahkan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan seksual maka harus mendapatkan restitusi dan juga negara harus bertanggungjawab atas pemulihan baik fisik maupun non fisik korban, mengingat anak adalah sebagai generasi bangsa dan generasi Aceh, jadi harus kita pastikan keberlangsungan hidupnya dan seluruh hak nya terpenuhi,” kata Iskandar.

Related posts