Aceh Selatan Paling Banyak Kehilangan Tutupan Hutan

Aceh Selatan Paling Banyak Kehilangan Tutupan Hutan. (ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh menggelar diskusi bertajuk “Deforestasi dan Bencana Hidrologi di Aceh”. Kegiatan ini digelar di Kantor AJI Banda Aceh.

Manager Geographic Information System (GIS) Yayasan HAkA, Lukmanul Hakim, mengatakan kegiatan ini untuk melihat kondisi hutan Aceh, mulai dari 2015 hingga sekarang.

HAkA, kata dia, mencatat sepanjang 2022 Aceh kehilangan tutupan hutan sebesar 9.383 hektare dari luas tutupan hutan Aceh 2022 lebih kurang 2,96 juta hektar. Data ini sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Namun secara spesifik data yang dimiliki HAkA berbeda dengan KLHK,” sebut Lukman.

Lukman menyebutkan, tahun ini daerah paling banyak kehilangan tutupan hutan di Aceh Selatan. “Jumlahnya sekitar 1.800san hektare,” ujarnya.

Namun, kata Lukman, secara rata-rata jumlah kehilang tutupan di Aceh menurun. Dia mengatakan, kehilangan tutupan di Aceh dikarenakan adanya konversi dari hutan ke pertambangan, perkebunan, dan lainnya.

Khusus pertambangan itu, kata dia, HAkA memantau di tahun 2022 ada indikasi pertambangan di sebelah barat Aceh yakni di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat.

“Dari satelit kita bisa melihat dengan jelas perkembangan kerusakan hutan di sepanjang sungai Seunagan dan Meureubo,” sebutnya.

Sementara itu, Koordinator Observasi Stasiun Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Blang Bintang, Aceh Besar, Khairul Akbar, mengatakan bencana sangat pengaruh dengan aspek meteorologi. Seperti munculnya anomali.

Menurut Khairul, frekuensi bencana di Aceh semakin meningkat. Berdasarakan data-data yang ada dari badan penanggulangan bencana, kata dia, menyebutkan bencana semakin sering terjadi.

“Bulan-bulan yang harusnya sudah masuk ke musim kemarau seperti sekarang, Januari Februari, tapi kita masih diwarnai bencana-bencana hidrologi,” kata dia.

Khairul mengatakan, BMKG tidak dapat memprediksi bencana alam kapan terjadi. Bahkan anomali cuaca pun sering berubah.

“BMKG hanya melihat dari aspek metereologi untuk melihat potensi-potensi bencana tadi,” sebut Khairul.

Related posts