AJI Banda Aceh-WCS Gelar Workshop Lingkungan dan Satwa

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh WildLife Conservation Society (WCS) Indonesia menggelar workshop bertema “Memperkuat Peran Media dalam Mendukung Perlindungan Habitat dan Mitigasi Konflik Manusia dan Satwa Liar di Aceh”.

Kegiatan tersebut berlangsung dua hari, Sabtu – Minggu 25-26 November 2023 pada salah hotel di Kota Banda Aceh.

Diskusi ini menghadirkan narasumber antara lain Rinaldo, S.Hut, M.Si mewakili Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Dekan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unsyiah Teuku Reza Alza, M.Sc, Ph.D, Ahmad Arief Anggota Bidang Pendidikan AJI Indonesia yang juga jurnalis Harian Kompas untuk hari pertama.

Sedangkan pada hari kedua akan hadir narasumber mewakili Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh (BKSDA), Dwi Adhari Anugrah dari WCS Indonesia serta Dandy Laksono jurnalis Indonesia Biru.

Program Manager WCS Indonesia, Ina Nisrina, mengatakan workshop tersebut merupakan salah satu bentuk kolaborasi WCS dengan jurnalis terkait isu lingkungan dan satwa. Melalui diskusi tersebut sehingga peran serta jurnalis dalam memberitakan lingkungan dan satwa akan lebih mendalam.

Menurut Ina –begitu sapaannya— manusia, lingkungan dan satwa merupakan komponen yang tidak bisa terpisahkan. Artinya, komponen ini saling memiliki keterkaitan yang tentu saja dalam keterkaitan tersebut tidak tertutup pula terjadinya unsur negatif dan positif. Sehingga dikenal pula istilah “konflik manusia dan satwa dan lainnya”.

Melalui workshop tersebut, ina berharap kepada para jurnalis ketika mengangkat pemberitaan nantinya akan lebih mengetahui lembaga mana saja yang memiliki data-data tersebut. “Kami berterimakasih kepada teman-teman AJI Banda Aceh yang sudah menfasilitasi sehingga workshop ini dapat terselenggara dengan baik dan lancar,” ujar Ina dalam sambutannya pada pembukaan workshop.

Sementara Ketua AJI Banda Aceh, Juli Amin, menyampaikan salah satu dari tujuan AJI didirikan adalah menjunjung tinggi profesionalisme. Menurutnya, profesionalisme itu tidak akan tercapai tanpa adanya penguatan kapasitas kepada para jurnalis atau anggota AJI itu sendiri.

Workshop ini, tambah Juli Amin, tidak mungkin terlaksana tanpa dukungan dari pihak WCS yang konsen dalam isu satwa dan lingkungan. Kehadiran WCS yang terus menguatkan kapasitas bagi jurnalis merupakan salah satu yang diharapkan oleh AJI.

“Kami berharap kegiatan ini akan terus berlanjut sehingga jurnalis di Aceh benar-benar mendapat bahan dan ilmu lebih mendalam dalam mengangkat isu lingkungan dan satwa tersebut,” harapnya.

Dalam kesempatan itu, Juli Amin, juga menyampaikan jumlah peserta pada workshop sebanyak 30 orang, 12 orang di antaranya dihadirkan dari daerah atau wilayah yang kerap terjadi konflik manusia dan satwa, seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Barat, Takengon, Aceh Jaya dan lainnya. Dari 30 peserta nantinya akan dipilih 10 jurnalis untuk field trip ke Leuser.

Rinaldo dari BBTNGL sebagai pemateri pertama mejelaskan perbedaan antara TNGL dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dengan tema “Taman Nasional Gunung Leuser -Pengelolaan, Tantangan, dan Harapan”.

Rinaldo turut menayangkan beberapa gambar perbedaan antara wilayah KEL dan BBTNGL serta Kawasan Areal Penggunaan Lain (APL).

“TNGL terdapat di dua provinsi yaitu Sumatera Utara dan Aceh. Kalau di Sumatera Utara ada Langkat dan Karo. Kalau di Aceh, ada di Aceh Tamiang, Gayo Lues, dan Aceh Selatan. Terdapat pula museum flora yang sangat tinggi di sini (Aceh),” katanya.

Menurutnya, di Aceh terdapat kambing hutan dan anjing hutan yang sudah jarang terdapat di daerah yang lain. Kekayaan Aceh masih banyak di TNGL. Terdapat pula tempat wisata atau pusat kunjungan yang masih jadi perhatian terutama di Provinsi Sumatera Utara.

“Dari sekian luas lahan, yang terbuka hanya 4.000 hektare, artinya masih banyak wilayah hutan kita yang belum terbuka. Padahal, sistem zonasi di TNGL sebisa mungkin tidak dibuka untuk investor masuk, tetapi diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar,” tambahnya.

Namun, dalam perjalanannya pembukaan lahan tersebut muncul kasus negatif antara satwa liar dan manusia yang masuk ke daerah pemukiman penduduk. Maka, seolah-olah satwa itu yang salah karena sudah merugikan atau menjadi “biang kerok” bagi masyarakat.

Dijelaskan, TNGL dideklarasi sebagai Taman Nasional Pertama pada 6 Maret 1980. Kemudian, dijadikan cagar biosfer oleh MAB Unesco pada tahun 1981. Lalu, dijadikan kebanggaan ASEAN oleh ASEAN Centre for Biodiversity tahun 1984. Kemudian, dijadikan warisan dunia (bersama TNKS dan TNBBS) ditetapkan tahun 2004. Sejak Januari 2023 kantor TNGL berpindah di Banda Aceh.

Related posts