Akankah kekerasan terhadap anak berakhir?

Ilustrasi kekerasan seksual. (Ist)

Fadhli, S.Fil I, M.Hum*

Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap tahun tanggal 23 Juli, pada tahun 2016 ini bertemakan “Akhiri Kekerasan Terhadap Anak”  secara nasional pun isu terhadap diskriminasi dan kekerasan terhadap anak sudah dijadikan sebagai kasus luar biasa, sehingga diperlukan penanganan khusus.

Alhamdulilah Presiden Jokowi sangat serius menangani hal ini ditandai dengana kebijakan baru yang dituangkan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang dinilai secara konprehensif bisa menyelesaikan permasalahan ini.

Berdasarkan fakta dan data yang ada, Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam memiliki jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang sangat bombastis, yaitu mencapai 1.326 kasus (Serambi Indonesia, 15 Oktober 2015).

Kasus ini didominasi pelecehan seksual terhadap anak, nauzubillah. karena ada kaitannya dengan kekerasan seksual inilah salah satu penyebabnya kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak mencuat, hal ini bisa dilihat secara nasional dan juga Aceh khususnya.

Kasus anak diperkosa 7 teman sebayanya, dicabuli ayah sendiri, anak diperkosa hingga melahirkan, kasus-kasus kekerasan seksual inilah yang sering muncul dan media sehingga semua mengutuk pelaku, sebagai reaksi geramnya kita terhadap pelaku biadab.

Di sisi lain, diskriminasi terhadap anak yang tidak kalah getir dan menyayat hati kita dengan kasus kasus nonseksual, seperti halnya kasus diskriminasi sosial terhadap anak terinfeksi HIV dan pelabelan karena orang tua positif HIV.

Berdasarkan pendampingan Yayasan Permata Aceh Peduli (YPAP), ada anak yang tidak diterima di sekolah, ada anak yang diusir oleh keluarga dekat (neneknya) karena orang tuanya meninggal dan bentuk diskriminasi lainnya dalam masyarakat yang tidak mau menerima anak-anak terinfeksi HIV di lingkungan desa.

Begitu juga dengan kasus anak penyandang disabilitas, sebagaian keluarga masih mengganggap aib memiliki anak atau ada keluarga yang disabilitas, sehingga anak-anak ini tidak dibolehkan keluar rumah, tidak boleh sekolah.

Apa yang harus segera dilakukan? Untuk mengakhiri kekerasan seksual terhadap anak, perlu adanya sosialisasi yang konprehensif terhadap seluruh lapisan masyarakat, keluarga dan instansi swasta dan pemerintah, anak-anak sendiri juga harus diberikan pemahaman tentang cara si anak mengenal bahaya kekerasan seksual terhadap dirinya.

Minimnya pengetahuan orangtua terhadap perlindungan anak dari kekerasan seksual yang dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari sangat berpegaruh. Seperti kasus pelaku kejahatan seksualnya anak, dia mengaku melakukan hal tersebut karena sering mellihat hal tersebut dilakukan orang tuanya.

Anak-anak yang suka meniru suasana adegan ‘panas’ bisa memicu pelaku anak terhadap kejahatan seksual terhadap anak lainnya. Smartphone sebagai hadiah untuk anak juga merupakan petaka bagi anak yang tidak segaja melihat adegan di Youtube, gambar spammer di FB dan Twitter yang bisa mengundang nafsu anak.

Komunikasi ala kearifan lokal dan kurangnya pemahaman orang tua terhadap kesehatan reproduksi dan pendidikan seks untuk anak, membuat anak bingung, seperti halnya mengantikan kata (maaf) vagina dan dompet dan penis dengan burung.

Makna ganda dalam komunikasi sehari hari secara psikologis bagi anak akan menganggap remeh, tentang apa yang mereka miliki sebagai alat yang sangat penting pada diri dan masa depan mereka. Sebagian orang tua masih menganggap tabu dan agak malu menjelaskan tentang fungsi alat alat reproduksi anak, yang harus dijaga dan sangat penting bagi mereka.

Dalam pergaulan sosial, sejak dini anak-anak kita harus mempunyai kewaspadaan tinggi terhadap orang lain, karena hal inilah yang akan membuat si anak bisa menjaga dirinya dari keganasan dan kebiadan seksual orang-orang sekililingnya.

Misalnya, tanamkan, bahwa alat vital si anak hanya boleh disentuh ibunya, kakaknya atau nenek, tidak ada orang boleh orang lain. Hal ini memang ekstrem, tapi ini yang akan membentuk pagar psikologis yang tertanam dalam benak si anak.

Untuk Peningkatan kualitas Kabupaten Layak Anak, semua lini instansi harus ramah anak dengan indikator-indikator yang telah ditetapkan, perlu juga dikembangkan di kecamatan di mana puskesmasnya sudah memiliki layanan VCT, sudah seharusnya pihak Dinkes dan Kemenag bekerja sama dalam hal ini KUA mewajibkan bagi pasangan calon pengantin untuk melakukan konseling dan dites HIV oleh puskesmas sekalian dengan TT serta planotest.

Hal ini sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 pasal 46 “Negara, pemerintah, pemerintah daerah, keluarga dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam keberlangsungan hidup atau mengancam kecacatan.” Perlindungan yang semacam ini harus direncanakan dengan matang dengan kebijakan kebijakan pro-perlindungan anak secara lintas sector.

Komitmen Pemerintah Aceh sudah sangat serius dalam mengurangi kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, hal ini terlihat Pemerintah Aceh melalui BP3A segera akan merekrut Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA). Dengan adanya tim ini mudah-mudahan semua tupoksi yang diamanahkan akan berjalan sesuai dengan harapan semua masyarakat. []

*Penulis adalah Pengamat sosial dan pekerja kemanusiaan di Yayasan Permata Aceh Peduli (YPAP).

Related posts