Debat politikus Gerindra vs polisi soal penangkapan terduga pelaku makar

Diskusi bertemakan Dikejar Makar, Jakarta, Sabtu (3/12). (Okezone)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Politikus Partai Gerindra, Ferry Juliantoro berdebat dengan Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Martinus terkait penangkapan 11 orang aktivis tersangka makar oleh aparat Polda Metro Jaya.

Adu argumen itu terjadi dalam diskusi Polemik Sindotrijaya di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/12).

Ferry Juliantoro mengatakan, kasus penangkapan aktivis tersangka makar oleh aparat Polda Metro Jaya tidak bisa dipisahkan dengan kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur non aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

“Jadi menurut saya kasus ini tidak bisa dipisahkan dengan Ahok. Ahok pun menurut saya awalnya presiden membela saudara Basuki jadi dengan kejadian 212 kemaren saya juga berterima kasih akhirnya presiden mengalah untuk kemudian hadir bersama di tengah aksi damai,” kata Ferry dalam diskusi bertema ‘Dikejar Makar’.

Karena itu, kata dia, dengan hadirnya Presiden di tengah lautan massa aksi super damai 212 harusnya tidak perlu lagi ada kekhawatiran ancaman terhadap kebhinekaan dan keutuhan NKRI.

“Jadi udah enggak ada lagi yang relevan untuk dikaitkan dengan makar. Kalau kemudian ada proses penangkapan kepada tokoh-tokoh ini menurut saya, misalnya ada aksi dan saya bilang mau jatuhkan pemerintahan Jokowi apakah saya makar. Dalam pemerintahan sebelumnya ada aksi juga minta juga turunkan SBY dan reshuffle kabinet apakah itu makar?” katanya.

Makar, menurut Ferry, adalah ranah politik dan susah untuk didefenisikan. Pembuktiannya sangat susah. “Jadi dalam proses ini masih dini ini dikategorikan sebagai makar. Menurut saya susah sangat politis,” katanya.

Sementara Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Martinus menjelaskan, makar jika merujuk pada Pasal 107 KUHP adalah menggulingkan pemerintahan secara inkonstitusional.

Pernyataan Martinus yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut langsung dipotong oleh Ferry.

“Pak kalau pemerintahan ini kan enggak pernah salah. Kalau karena sebab-sebab kontitusional pemerintahan salah melanggar undang-undang dan sebagainya. Terus rakyat bagaimana caranya?” tanya Ferry.

Martinus pun menjawab, ada mekanisme untuk itu. Ferry pun langsung memotong kembali. “Mekanismenya melalui sidang istimewa melalui sidang parlemen. Itu kan konstitusional kan pak. Yang inkonstitusional menurut saya penggunaan aparat kekuatan bersenjata,” tegasnya.

Martinus pun menjawab, di mana Polri harus menjaga negara dan undang-undang. Itulah menurut mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya ini yang tengah dioperasionalkan penyidik Polda Metro Jaya dalam menangkap sejumlah aktivis dengan tuduhan makar.

“Saya kira masyarakat harus paham di sini dalam satu kegiatan melaksanakan tugas polisi memiliki berbagai tindakan preventif, preventif dan penegakan hukum. Penegakan hukum yang dilakukan pihak Polri bisa dibuka kalau tidak cacat hukum saya kira ada mekanismenya dan negara kita sudah ada satu sistem itu,” paparnya.

Mengakhiri debat tersebut, Ferry menjawab, dengan analogi aksi 1998.

“Kalau dikaitkan dengan peristiwa 1998 apakah mahasiwa melakukan permufakatan jahat untuk menguasai parlemen dan mengganti pemerintahan sah?” tukasnya.

Sebelumnya pada 2 Desember 2016, delapan orang ditangkap atas dugaan pemufakatan makar yakni eks Staf Ahli Panglima TNI Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zein, dan Ketua Solidaritas Sahabat Cendana Firza Huzein.

Selanjutnya adalah seniman dan aktivis politik Ratna Sarumpaet, pentolan Dewa 19 sekaligus calon Wakil Bupati Bekasi Ahmad Dhani, putri Presiden pertama Presiden Soekarno, Rachmawati Soerkarnoputri, Sri Bintang Pamungkas dan Eko. Sementara juga ada dua orang yang ditangkap dan dijerat Pasal 28 Undang-Undang ITE yakni Jamran dan Rizal Kobar. [Okezone]

Related posts