Kenang Tsunami Aceh, ini puisi Taufiq Ismail

Masjid yang masih berdiri ditempa tsunami di Aceh. (ABC.net)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Peristiwa gempa bumi yang diikuti tsunami dahsyat menyapu Aceh tepat hari ini, 12 tahun yang lalu. Sampai sekarang, bencana yang menelan lebih dari 100 ribu korban jiwa itu terus dikenang.

Di antaranya, penyair Taufiq Ismail mengabadikan ingatan tentang duka nasional itu melalui kumpulan sajak, Tsunami Aceh 10 Tahun (2014).

Puisinya menggambarkan kesedihan kolektif bangsa Indonesia dan khususnya Aceh. Namun, baginya, tsunami merupakan pelajaran berharga bagi seluruh elemen bangsa demi menata masa depan yang lebih baik lagi.

Sebab, sejarah mencatat Aceh sebagai bangsa pejuang. Berikut kutipan salah satu sajak di dalam buku tersebut. Dimuat atas persetujuan penyair, hari ini (26/12).

(I)
Betapa kehormatan sangat besar bagi saya

Mendapat undangan dua kali puisi dibaca

Di Masjid Raya yang tujuh buah kubahnya

Seratus enam puluh delapan pucuk tiangnya

Tiga ratus sembilan puluh satu tahun umurnya

Pertama malam di depan rehal duduk bersila

Kedua selepas shalat Jum’at di atas mimbar di sana


(II)
Getaran sejarah nyaris empat abad panjangnya

Di depan mihrab ini sampai anginnya terngiang suara

Arabia, Turki, Mesir, Portugis, Spanyol, Belanda

Cina, Amerika, Brunei, Semenanjung Malaya

Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam membangunnya

Tahun 1614, ketika itu dua puluh satu baru umurnya

Negeri sangat majunya, aman, makmur dan sejahtera

Kerajaan berlandas empat rukunnya

Pedang keadilan dan kitab undang-undang tegak bersama

Kemudian ilmu pengetahuan topang-menopang dengan bahasa

Sawah, kebun, ikan, ternak, hutan-rimba rapi diaturnya

Lada dan sutera diekspor ke delapan negara

Pandai emas, pandai kapal, pandai besi jadi basis industri

Dalam negeri ekonomi, luar negeri diplomasi

Militernya lengkap dengan altileri, kavaleri dan infanteri

Angkatan Perangnya penuh perempuan pemberani

Kapal-kapal perangnya lebih besar ketimbang kapal perang Eropa

Begitu tulis Beaulieu, orang Perancis di Aceh sebagai Duta

Kapal ukuran sedangnya 120 kaki panjangnya

Cantik tapi berat, lebar dan tinggi pula

Meriamnya besar, setiap kapal muat 700 tentara

Kapal yang disimpan di pantai, ditarik oleh gajah bersama

Pasukan gajah Sultan 90 ekor banyaknya

(IV)
Getaran sejarah itu sangatlah terasa

Tapi kini abad 21, betapa besar bedanya

Banda Aceh tinggal lagi sepertiga

Lebih seratus ribu manusia serentak kehilangan nyawa

Rabu malam, sebelum 1 Muharram di Masjid Raya

Jum’at siang selepas shalat jamaah bersama

Saya bacakan sembilan puisi saya

Tentang tak mampunya kita membaca tanda-tanda

Bisakah kita siap bila sewaktu-waktu kita dipanggil-Nya

Betapa sukarnya bagi saya menyampaikannya

Pada saudara-saudara saya yang jauh lebih menghayatinya

Di bahu mereka tak terbilang bobot beban derita

Masing-masing kehilangan tiga, sepuluh, dua puluh anggota keluarga

Rumah remuk, ijazah lenyap, simpanan binasa, hari depan di mana

Mereka sangat tenang menyimak, terasa pada sinar mata

Seusai baris terakhir, turun mimbar, berdatanganlah mereka

Mengerubungi, menyalami, merangkuli saya

Ada orang berlima yang terisak-isak susah berhentinya

Bergantian di bahu menyandarkan kepala

Dan meneteskan air mata

“Tolong pak, tolong carikan anak saya…”

2005

Al-Fatihah untuk arwah para korban. [Republika]

Related posts