KPK sebut pengelolaan komoditas Kelapa Sawit rawan Korupsi

Parlemen Eropa tak ikhlas sawit Indonesia maju
Ilustrasi - Pekerja mengumpulkan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hasil panen di Desa Seumanah Jaya, Rantoe Peureulak, Aceh Timur, Aceh, Minggu (9/10). (Antara Foto)

Jakarta (KANALACEH.COM)  – Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan pengelolaan komoditas kelapa sawit masih banyak menimbulkan masalah. Lemahnya mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendalian, kata dia, membuat sektor tersebut rawan korupsi. Padahal, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia.

Dalam kajian pada 2016, KPK menemukan belum ada desain tata kelola usaha perkebunan dan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kondisi itu, ujar dia, tidak memenuhi prinsip keberlanjutan pembangunan. “Sehingga rawan terhadap persoalan tata kelola yang berpotensi adanya praktek tindak pidana korupsi,” kata Febri dalam keterangan tertulis, Senin (24/4).

Dari sisi hulu, menurut Febri, sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit belum akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha. Tidak ada mekanisme perencanaan perizinan berbasis tata ruang. Integrasi perizinan dalam skema satu peta pun belum tersedia.

Febri berujar kementerian dan lembaga terkait juga belum berkoordinasi dalam penerbitan perizinan tata ruang. KPK menemukan tumpang tindih izin seluar 4,69 juta hektare.

Sementara di hilir, pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit belum efektif karena sistem verifikasi belum berjalan baik. KPK menemukan penggunaan dana kelapa sawit habis untuk subsidi biofuel. “Parahnya, subsidi ini salah sasaran,” kata Febri. Tiga grup usaha perkebunan mendapat 81,7 persen dari Rp 3,25 triliun alokasi dana subsidi.

Febri menuturkan subsidi seharusnya disalurkan untuk penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, dan peningkatan sarana dan prasarana. Subsidi juga ditujukan untuk promosi dan advokasi serta riset.

Febri melihat pungutan pajak sektor kelapa sawit tidak optimal dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Akibatnya, terdapat kurang bayar pungutan sebesar Rp 2,1 miliar dan lebih bayar Rp 10,5 miliar.

Ia mengatakan tingkat kepatuhan pajak, baik perorangan maupun badan, juga menurun. Sejak 2011-2015, wajib pajak badan menurun sebanyak 24,3 persen, sedangkan kepatuhan wajib pajak perorangan turun 36 persen.

Dengan berbagai masalah, sektor kelapa sawit rawan korupsi. Febri mengatakan korupsi dalam proses perizinan perkebunan kelapa sawit sering melibatkan kepala daerah. Salah satunya adalah Bupati Buol Amran Batalipu, dan Gubernur Riau Rusli Zainal.

KPK  merekomendasikan Kementerian Pertanian serta kementerian dan lembaga terkait untuk menyusun rencana aksi perbaikan sistem pengelolaan komoditas kelapa sawit. “KPK akan melakukan pemantauan dan evaluasi atas implementasi rencana aksi tersebut,” kata Febri. [Tempo]

Related posts