Senandung Rayuan Wisata di Kota Pusaka

Gedung Taman Bustanussalatin. (Kanal Aceh/Randi)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – “Setiap langkah, kita akan menemukan serpihan sejarah di setiap sudut kota Banda Aceh,” begitulah kata Arkeolog Aceh dari Universitas Syiah Kuala, Husaini Ibrahim saat diwawancarai kanalaceh.com beberapa waktu lalu, terkait berdirinya Kutaradja yang kini dikenal sebagai Banda Aceh.

Memasuki usia ke 814, tentu Kota Banda Aceh sudah semakin matang dalam semua bidang. Hiruk-pikuk pembangunan mulai gencar dilakukan pasca gelombang tsunami memporak-porandakan tanah rencong.

Hal itu terlihat dari progres pembangunan seperti hotel yang mulai menjamur dan menjulang tinggi, hampir menyamai tinggi menara Masjid Baiturrahman.

Munculnya hotel-hotel ini bukan tanpa sebab, para investor sudah melirik Banda Aceh sebagai ‘ladang empuk’ di industri pariwisata. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, kunjungan wisatawan mancanegara dalam 3 tahun terakhir mengalami peningkatan.

Di tahun 2016 tercatat 18.527 wisman menginjakkan kaki di Banda Aceh. Kemudian tahun 2017, jumlahnya melonjak hingga 10 persen dengan jumlah 28.714. Dan di tahun 2018 merangkak naik dengan jumlah 34.215 orang wisatawan. (Data BPS Aceh)

Wisatawan asal Malaysia berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. (Foto: Habadaily.com)

Jumlah wisatawan itu masih di dominasi turis asal Negeri Jiran Malaysia. Kunjungan mereka hampir 65 persen pertahunnya dari total jumlah wisman yang datang ke Banda Aceh. Lantas, kenapa wisatawan asal Malaysia yang menjadi pengunjung tertinggi di Banda Aceh?

Direktur DeBe Holiday Tour & Travel Banda Aceh, Delfia Risa mengakui bahwa wisatawan asal Malaysia, memang setiap tahun menduduki peringakat satu, dalam jumlah kunjungan wisman ke Banda Aceh.

Delfia menilai, selain terpikat dengan aturan syariat islam, wisman asal Malaysia juga mengagumi artefak tsunami dan bangunan peninggalan masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam yang berada di pusat Kota Banda Aceh. Misalnya, dari Masjid Raya Baiturrahman, Taman Bustanussalatin, Taman Putro Phang, Makam Sultan Iskandar Muda, Gunongan dan Museum Rumoh Aceh.

Mereka juga punya daya tarik sendiri melihat peninggalan kerajaan Aceh itu. “Bahkan ada yang request, untuk diantarkan ke beberapa destinasi yang sejarah islamnya cukup kental,” ujar Delfia.

Konsistensi pemerintah dalam melestarikan dan memugar cagar budaya memang berdampak juga pada tatanan kota. Agar tetap terlihat rapi, dan enak di pandang. Bahkan sekitar bangunan ada yang dibumbui dengan lighting” agar kekinian dan terlihat hidup, seperti pepohonan mengelilingi taman Bustanussalatin yang memancarkan cahaya di malam hari.

Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman begitu bersemangat saat ditanya soal terobosan dalam mengembangkan destinasi wisata religi dan sejarah. Pihaknya berencana akan mengembangkan wisata zikir di Ulee Lheue, dan maulid sebagai salah satu cara untuk mendongkrak kunjungan wisata muslim ke Banda Aceh.

Bahkan ia tak sungkan menyebut angka, menargetkan kunjungan wisatawan sampai 1 juta orang di tahun 2019. “Zikir di Blang Padang dan Maulid saja yang sering kita buat, juga banyak mendatangkan wisatawan,” ujar Aminullah usai menghadiri Maulid Raya Kota Banda Aceh, Rabu (6/2).

Zikir Akbar. (Foto: Humas Pemko Banda Aceh)

Menurut Aminullah, menggaet wisatawan muslim untuk mau berkunjung ke Banda Aceh sudah menjadi program yang telah dicanangkan, sejak ia memimpin Banda Aceh. Tak heran jika Kementrian Pariwisata memberikan penghargaan berupa Anugerah Pesona Wisata Indonesia (API) kategori wisata halal terpopuler tahun 2018 kepada Pemko Banda Aceh. Kemudian Pemerintah Aceh juga memberikan penghargaan terkait konsistensi pengembangan wisata daerah pada tahun 2018.

Sederet prestasi lainnya juga pernah dicicipi oleh Aminullah – Zainal. Kali ini lewat pengembangan budaya. Mereka mendapat penghargaan anugerah kebudayaan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017.

Sebagai anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI), tidak lantas membuat Pemko Banda Aceh lalai dalam menjaga warisan budaya dunia yang berdiri kokoh di tengah kota. Seperti komplek makam Kerkhof Peucut, Lonceng Cakra Donya hingga makam ulama dan prajurit Turki di masa kekhilafaan Turki Usmani di Bitay.

Warisan itu memungkinkan menjadi daya tarik wisatawan Eropa, untuk berkunjung bahkan berziarah di kedua lokasi makam itu.

Tak kalah penting, destinasi heritage di komplek taman Kesultanan Aceh Darussalam yang meliputi Taman Sari hingga Gunongan, yang diperuntukkan oleh warga dan wisatawan harus tetap terjaga.

“Garis Imajiner”

Warga Banda Aceh sekiranya patut bangga karena memiliki taman peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam tepat di pusaran kota. Apalagi bangunan itu masih terawat dengan baik. Meskipun ada yang dirombak, tetapi itu tempat menyalurkan kreatifitas dan bakat warga seperti di Taman Bustanussalatin.

Taman yang dulunya disebut dengan Taman Ghairah ini, telah berdiri panggung dan bangunan dengan arsitektur unik, yang berguna sebagai tempat pertunjukan berbagai even dan pameran.

Dari atas gedung, juga bisa digunakan pengunjung untuk melihat suasana masjid Raya Baiturrahman. Dan tiang warna-warni bekas Hotel Aceh yang terletak tak jauh dari Bustanussalatin juga menjadi pemandangan yang tak kalah indah.

Jarak diantara taman Bustanussalatin dengan Putroe Phang, Gunongan dan Masjid Raya Baiturrahman juga tidak terlalu jauh. Lokasi ini ibarat garis lurus yang menghubungkan satu sama lain, dan diyakini di bangun secara bersamaan dengan jarak waktu yang tidak begitu lama.

Dikutip dari berbagai sumber, dari keempat destinasi itu yang pertama di bangun ialah Taman Bustanussalatin. Diperkirakan bangunan itu dibuat pada Tahun 1.514 pada masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda. Lalu dilanjutkan dengan Putroe Phang dan Gunongan pada Tahun 1.607 atau awal abad ke 17.

Kemudian Masjid Raya pada tahun 1.612 yang dijadikan tempat ibadah ummat muslim. Rentetan destinasi wisata sejarah ini sambung menyambung dalam ‘garis imajiner’ yang memiliki daya pikat serta keunikan cerita yang ada di dalamnya.

Menyatukan yang Tercecer

Menyandang sebagai kota pusaka, bukan berarti Banda Aceh sudah selesai dari tugasnya untuk menyelamatkan situs sejarah. Masih banyak artefak seperti nisan-nisan yang sudah ada sejak zaman kerajaan, tercecer disetiap sudut kota.

Ketua Masyarakat Pecinta Sejarah (Mapesa) Mizuar Fuadi mengingatkan agar Pemko Banda Aceh tidak menenggelamkan nisan ulama dan raja di Gampong Pande. Dari data yang dimilikinya, ada ratusan nisan lagi yang masih berada di jalur tempat pembuangan tinja.

Ia memang mendukung langkah Aminullah yang ingin menggenjot wisata berbasis islami, budaya dan sejarah. Tapi, pihaknya juga mengharapkan agar cita-cita itu tidak tercoreng akibat pembiaran situs makam para indatu yang masih tercecer.

“Harusnya diselamatkan. Minimal dipindahkan dan dibuat seperti komplek makam. Dengan begitu, ini bisa menambah deretan destinasi wisata sejarah dan edukasi,” ujarnya.

Aminullah Usman mengakui akan hal itu. Pihaknya terus melakukan pemugaran terhadap makam yang berada di Kampung Pande setiap tahunnya.

Hal ini, kata dia menjadi misi Kota Banda Aceh yang ingin mewujudkan objek wisata mulai dari wisata religi, budaya, kuliner hingga ziarah.

“Pemugaran itu terus kita lakukan, kita menghargai orang terdahulu kita, jadi kita benahi dan kita perbaiki,” kata Aminullah usai meresmikan infrastruktur di Desa Lhoong, Banda Aceh, Kamis (14/2). [Randi]

Related posts