Sarat Masalah Hukum, Walhi Aceh Akan Mempidanakan BPKS

berita_110297_800x600_walhi_aceh_ok
Logo Walhi Aceh (Ist)

Banda Aceh (Kanal Aceh) – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menilai proyek pembangunan wisata Sabang sarat masalah hukum, terutama terkait dengan lingkungan hidup. Walhi mempermasalahkan dokumen Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang dikeluarkan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS).

Dalam RKL dan RPL tersebut terlihat adanya bentuk penyeragaman konteks pengelolaan, padahal pengerjaan proyek ada di empat lokasi yang berbeda, yaitu Marina Lhok Weng, Pulau Rubiah, ecotourism track, dan Teupin Layeu. Sehingga akan berdampak berbeda mengingat wilayah yang digunakan untuk proyek wisata tersebut adalah kawasan hutan lindung dan konservasi berdasarkan Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Tahun 2013-2033.

“Pemrakarsa penyusun dokumen Amdal tidak menjadikan Qanun RTRWA provinsi sebagai acuan pembangunan, oleh karenanya kami menyimpulkan proyek ini bagian dari pelanggaran UU Tata Ruang,” ujar Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur dalam rilis yang diterima Kanal Aceh, Senin (11/1).


Baca juga:

Walhi Aceh: Atas Kesalahan Pembangunan Aceh Rugi 10 T

Aceh Jaya Kembangkan Wisata Alam Gampong Gajah


Menurut Muhammad Nur, dalam Amdal tersebut disebutkan bahwa pembangunan ecotourism track di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) sesuai dengan ketentuannya yaitu tidak mengubah karakteristik bentang alam atau menghilangkan fungsi utamanya. Namun fungsi utama yang dimaksud tersebut tidak dijelaskan sehingga menyebabkan ambigu.

“Tidak hanya itu, ketentuan berikutnya yaitu tidak menutup/menghilangkan jalur lalu lintas tradisional masyarakat kecuali dengan persetujuan masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut pihak-pihak mana yang bertanggung jawab dalam menangani hal tersebut,” kata Muhammad Nur.

Ia menilai Amdal yang disusun BPKS sebagai pemilik proyek hanya untuk memenuhi syarat untuk mendapatkan izin lingkungan saja. Begitu izin lingkungan terbit, dokumen Amdal tidak lagi dijadikan acuan dalam pembangunan. Karena itu ia meminta pemerintah Aceh agar tidak menerbitkan izin lingkungan sebelum perbaikan dokumen dilakukan dengan benar.

BPKS juga dianggap tidak melibatkan atau mendiskusikan perihal wilayah rentang bencana dengan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terkait lokasi proyek tersebut, padahal bencana akan menjadi beban bersama nantinya.

“Jika masukan Walhi Aceh tidak menjadi acuan dalam pembangunan, dan pemerintah tetap menerbitkan izin lingkungan sebelum perbaikan Amdal dilakukan, tentu kami akan pidanakan BPKS sebagai pemilik proyek dalam waktu dekat.” []

Related posts