Solusi untuk Aceh dalam menyongsong masa depan di bidang ekonomi

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. (Shutterstock)

Oleh: Rahmat Rizki*

Melemahnya perekonomian Aceh pada triwulan I 2014 jika dibandingkan triwulan IV 2013, sangat dipengaruhi oleh besarnya realisasi belanja pemerintah pada triwulan IV 2013. Di sisi lain pada triwulan I 2014, realisasi belanja pemerintah tidak sebesar triwulan IV 2013. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan guru besar Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof Dr Raja Masbar yang dimuat di majalah Aceh Economic Review.

Dalam kesempatan tersebut, Raja Masbar mengungkapkan bahwa perekonomian Aceh sangat erat kaitannya dengan pencairan anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) dan Angggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK). Apabila pencairan APBA dan APBK terhambat, maka ekonomi Aceh akan melambat dan sebaliknya apabila cepat cair, maka perekonomian Aceh akan tumbuh. Dari pernyataan Raja Masbar, bisa saya simpulkan bahwa ekonomi Aceh (saya sebut memiliki penyakit ketergantungan pada APBA dan APBK). Perekonomian Aceh ke depan harus tumbuh menjadi ekonomi yang kuat tanpa ketergantungan pada APBA/APBK.

Ekonomi mulai menurun

Secara umum struktur perekonomian Aceh dari tahun ke tahun tidak terlalu berbeda jauh. Komponen konsumsi rumah tangga mendominasi dengan kontribusi berkisar 40%. Kemudian berturut-turut diikuti komponen konsumsi pemerintah, komponen ekspor, komponen PMTB dan yang terakhir komponen impor. Dominasi komponen konsumsi rumah tangga pada struktur perekonomian menunjukkan kondisi perekonomian yang rapuh.

Dominasi komponen konsumsi rumah tangga erat kaitannya dengan jumlah penduduk. Artinya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di suatu daerah, maka akan berdampak pada kenaikan komponen konsumsi rumah tangga. Di Aceh sendiri masih dibayangi oleh kegiatan ekonomi warung kopi. Tidak bisa dipungkiri bahwa warung kopi cukup besar sumbangannya dalam perekonomian Aceh. Jika suatu saat budaya duduk di warung kopi ini hilang, maka bisa dipastikan perekonomian Aceh akan mengalami goncangan yang cukup besar.

Di samping itu, suatu daerah memiliki titik jenuh penyediaan pangan dan papan bagi penduduknya, sehingga pemerintah terpaksa mengimpornya. Kebijakan ini diambil akibat dari kelebihan jumlah penduduk yang membuat Aceh suatu saat tidak mampu menyediakan pangan dari hasil buminya sendiri. Seperti kita ketahui, impor hanya akan berdampak pada berkurangnya uang beredar yang ada di Aceh. Ini tentunya berpengaruh pula pada aktivitas ekonomi di Aceh yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.

Penyumbang terbesar kedua perekonomian Aceh adalah komponen konsumsi pemerintah. Suatu perekonomian juga dikatakan tidak sehat jika komponen konsumsi pemerintah terlalu besar persentasenya. Saat ini posisi komponen konsumsi pemerintah sebesar 24 persen dari total perekonomian Aceh. Sebagai tambahan informasi, konsumsi pemerintah didapatkan dari belanja pegawai (upah dan gaji), belanja sosial dan belanja barang dan jasa.

Keadaan ini mengingatkan kita pada masalah belanja pegawai kebanyakan pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang hampir mencapai separoh dari APBK, bahkan lebih. Maka jika diasumsikan belanja pegawai Pemerintah Aceh mencapai separoh dari APBA, bisa kita simpulkan bahwa minimal 12% atau lebih, perekonomian Aceh dikuasai oleh pegawai pemerintah atau PNS.

Sektor Industri Aceh

Pemerintah Aceh harus melaksanakan program yang produktif seperti pembangunan industri. Dana APBA jangan hanya digunakan untuk pembangunan jalan, karna banyak wilayah di Aceh jalannya memang layak untuk dipakai. Jika hanya jalan yang diperbaiki setiap tahunnya ekonomi Aceh lambat untuk berkembang atau memadai. Hanya dalam jangka waktu 2-5 bulan jalan yang sudah diperbaiki akan rusak kembali. logikanya tidak ada keuntungan dalam hal itu. Akan tetapi jika dana itu dilakukan untuk pembangunan yang bersifat produktif mungkin akan memperoleh keuntungan setiap tahunnya dan bisa digunakan bagi seluruh rakyat Aceh.

Aceh banyak mempunyai SDA yang melimpah, di dalam Al-qur’an saja Allah SWT telah menyeru manusia ke dalam darussalam. Di dunia ini hanya ada dua darussalam, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam dan Brunei Darussalam, yang mana dilimpahkan kekayaan alam yang melimpah kepada dua nama ini. Aceh mempunyai SDA di berbagai sektor, seperti perkebunan, perikanan, pertanian, dan pertambangan. Semua sumberdaya itu jika dikuasai pengelolaannya pasti Aceh akan lebih berkembang ekonominya.

Menurut pola pikir saya, permasalahan yang terjadi di Aceh saat ini cukup rumit dalam berbagai bidang:

1. Ketergantungan impor.
2. Politik tidak produktif.
3. Rendahnya nilai tambah produk dalam Aceh.
4. Sistem pemerintahan amburadul.

Semua permasalahan di atas faktor-faktor yang menghambat ekonomi di Aceh, jika pemerintah mampu menghadapi semua permasalahan itu, maka Aceh akan mempunyai masa depan yang gemilang, solusinya:

1. Pembangunan ekonomi berbasis keunggulan daerah.
2. Pemilu yang murah, tanpa ada biaya yang bengkak.
3. Penguasaan pengelola SDA.
4. Kemandirian teknologi.
5. Pendidikan berkualitas.
6. Rehabilitasi dan rekontruksi sejarah Aceh.
7. Tembak mati para Koruptor.

Masalah yang paling khusus adalah moral harga mati untuk Aceh. Di era global sekarang masalahnya uang, dia yang telah merusak moral setiap pejabat-pejabat di Aceh sehingga bisa dibeli, kebebasan individu harus dibatasi untuk menjaga kebebasan bersama.

Ketergantungan impor di Aceh

Kebutuhan akan pelabuhan ekspor impor yang representatif di Aceh sangat mendesak, keberadaan pelabuhan tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi provinsi sekaligus mengurangi ketergantungan dari Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Aceh dalam pengimporan masih bergantung dengan Sumatera Utara, tepatnya Pelabuhan Belawan, pengimporan ini seperti komoditas misalnya kakao, kopi, atsiri, arang tempurung, kopra dan lainnya ditampung oleh pengusaha dari Medan dengan harga murah, karena pengaruh biaya transportasi.

Aceh memiliki banyak komoditas andalan yang selama ini menjadi bahan baku ekspor ke luar negeri. Berdasarkan data yang tercatat di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, sejak Januari hingga Maret 2013 ekspor kopi arabica sebanyak 2,852 ton dan kopi luwak 100 kilogram. Dua komoditas tersebut selama ini diekspor melalui Pelabuhan Belawan. Belum lagi dari sektor industri non migas seperti bijih besi dan ammoniak. Untuk perikanan ada lobster, ikan tuna dan ikan kakap merah yang selama ini juga dieskpor melalui Sumatera Utara.

Selama ini dengan komoditas dari Aceh dieskpor melalui Sumatera Utara, Aceh kehilangan Pendapat Asli Daerah (PAD) sekitar Rp 250 juta per bulan atau Rp 3 miliar pertahun. Menurut saya, keuntungan yang seharusnya dapat digunakan oleh Aceh sendiri malah dipergunakan untuk provinsi lain karena kita masih bergantung pada provinsi lain.

Di Aceh sendiri kita mempunyai pelabuhan sendiri seperti Malahayati dan Krung Geukueh yang bisa digunakan ekspor impor di Aceh. Jika pelabuhan ini resmi digunakan maka Aceh tidak perlu lagi bergantungan impor dengan provinsi lain sehingga kebutuhan barang di Aceh ini dapat dikontrol dengan mudah serta harga dan biayanya dapat diminimalisir.

Seandainya jika pelabuhan lebih dioptimalkan, maka pengusaha luar langsung masuk ke Aceh dan mampu membeli dengan harga relatif lebih baik, karena ekspor dilakukan dari Aceh, tidak tertutup kemungkinan akan lahirnya pengusaha-pengusaha lokal yang akan membeli hasil pertanian dan perkebunan milik masyarakat.

Dari setiap permasalahan yang ada, solusi yang dapat kita simpulkan dari setiap komponen masyarakat Aceh untuk kepemimpinan ke depan Pemerintah Aceh harus lebih mengoptimalkan dalam bidang ekonomi dan SDM kedepan.

*Penulis adalah anggota PAKAR Aceh Utara bidang analisis/kajian dan Ketua Senat mahasiswa IAIN Malikussaleh

Related posts