Alasan PVMBG belum pastikan tsunami Banten akibat anak Krakatau

(liputan6)

Bandung (KANALACEH.COM) – Kabid Mitigasi Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Wawan Irawan belum bisa memastikan penyebab terjadinya tsunami di Banten pada Sabtu 22 Desember malam kemarin. Ada beberapa alasan mengapa hal itu belum bisa dikaitkan.

“Kita belum bisa kaitkan tsunami yang terjadi kemarin akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau,” ujar Wawan saat konferensi pers di Gedung PVMBG, Kota Bandung, Minggu (23/12).

Baca: Korban meninggal Tsunami Banten dan Lampung jadi 62 orang

Menurut Wawan perlu energi besar untuk bisa menciptakan gelombang atau tsunami seperti kemarin malam. Sementara letusan Anak Krakatau disebutnya masih dalam skala kecil.

Wawan mengatakan ada dugaan gelombang diakibatkan oleh longsoran tubuh dari Anak Krakatau. Namun untuk membuktikannya perlu dilakukan pengecekan langsung ke lokasi apakah ada perubahan dari fisik gunung yang berada di Selat Sunda itu.

“Sampai saat ini tim atau pun masyarakat di sana belum melihat ada letusan besar dari Anak Krakatau,” ucapnya.

Letusan Anak Krakatau, kata Wawan, sudah terjadi sejak tahun 2016 hingga tahun 2018 tepatnya 29 Juni lalu. Letusan pada 2018 diawali dengan munculnya gempa tremor, peningkatan jumlah gempa hembusan dan low frekuensi pada 18-19 Juni.

“Jumlah gempa hembusan terus meningkat dan akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 Anak Krakatau meletus,” katanya.

Sementara pada 22 Desember masih terjadi letusan yang bersifat low frekuensi. “Secara visual teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300-1.500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm),” beber Wawan.

Dengan melihat data dan fakta tersebut, pihaknya belum bisa memastikan jika tsunami yang terjadi pada malam kemarin diakibatkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau.

“Untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan besar yang masuk ke dalam laut. Untuk merontokan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunung api. Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunung api dengan tsunami,” ujar Wawan. [Detik.com]

Related posts